Minggu, 01 Maret 2009

Pemilu



Bajingan Kecil

Serentak seluruh pelosok berteriak. Hidup partai ini, hidup partai itu, hidup partai anu, hidup partai ini itu. Demokrasi. Enak dimakan? Seandainya seluruh penduduk negri kelaparan taruhlah beberapa piring demokrasi di meja makan, undang seluruh tetangga kanan – kiri (pejabatnya jangan) sebelum makan berdo'a bersama-sama, sebelum do'a selesai pasti sudah habis semua menu (makanan), sayangnya demokrasi tidak bisa dicerna perut kita.

Berbeda dengan nasi yang jadi santapan setiap hari, sebanyak apapun makanan yang ada, sampai perut penuh. Tidak ada istilah ”makan”, kecuali sepiring nasi (ini baru makan).

Lain lagi jika yang menyajikan partai ini, dibumbui sedikit garam janji, merica harapan, sebotol sambal militansi. Lauk hasil mancing keributan, di selingi tontonan dengan ki dalang kerusuhan.

”Mantab’....! Mantab’......!”

Menggairahkan (jawa: kapok lombok/pedas tapi asyik). Sementara itu partai itu menyajikan sarapan kuah bensin, cukup membuat telinga budeg.

Ini musim partai. Bukan seperti jamur dimusim penghujan tapi lebih seperti debu dimusim kemarau. Semua tahu. Jamur enak dibikin lauk, cukup bumbu sedikit sudah jadi makanan.

”Sedap.......! nyam... nyam..... cleguks.”

”Srupuuuutttsss....!”

Di mana-mana, ke mana-mana, kapan-kapan, sewaktu-waktu, sehari-hari, seminggu-minggu, sebulan-bulan, selalu bisa menemukan partai ini, partai itu, partai anu, partai ini itu. Tidak aneh lagi, jika kemarin ketemu si anu pakai kaos partai anu, pagi ini sudah pakai kaos ini, besoknya kaos itu. Anehnya tidak ada pengaruh sama sekali bagi politik entah apapun kaos yang dipakai si anu.

”Lha kalau kaosnya harga murahan?”

”Enaknya hari ini dipakai, besok dipakai, lusa dipakai. Kapan nyucinya?”

”Jadi kain lap....! Hadiah multi fungsi dari pak partai, bu partai, mbak, mas, om, tante, abang, adik, simbah kakung.........”

”Aneh benar..”

Akan lain ceritanya. Pak anu pakai kaos anu, duduk di ursi anu, mewakili anu. lima tahu lagi pak anu jadi pak itu, pakai kaos itu, duduk di kursi itu.

”Itulah demokrasi.”

”Demokrasi.”

”Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.”

”Ini rakyat mana yang diperjuangkan nasibnya?”

Semua pasti ada yang disuka, paling disuka, senang, paling disenang. Tapi ada keanehan dari demokrasi. Wakil presiden berambisi jadi presiden, wakil gubernur siap-siap jadi gubernur, wakil bupati mengincar posisi bupati, rakyat jadi wakil rakyat (nah lho?). Sebenarnya rakyat yang menentukan berjalan (itu kalau kakinya dua, kalau kakinya empat jadi bejalan-jalan) atau mandek, merangkak atau berlari, maju atau mundur negri ini. Untuk memperlancar prosesnya setiap lima tahun dipilih orang-orang yang dianggap mampu membuat negri ini bukan cuma berlari kalau perlu terbang melesat. Siang malam mereka harus bekerja (maklum wakil harus menurut yang diwakili), setahun sekali studi banding keluar negri (cuma sekali setahun?), diberi uang saku, dibelikan celana dalam, disemirkan rambutnya yang ubanan (biar kelihatan sippp..), disuapi saat makan.

”Paling enak jadi wakil rakyat.”

”Siapa bilang?”

“Wakil presiden ingin jadi presiden, wakil kep – sek ingin jadi kep – sek.”

“Wakil rakyat ingin jadi rakyat? Mustahil, nanti malah jadi aneh bin ajaib.”


”Anggota dewan yang terhormat.”

Kurang lebih seperti itu penyambutan oleh pejabat daerah pada pembukaan pekan liburan wakil rakyat. Wakil rakyat juga manusia yang perlu refresing, jalan-jalan, rekreasi. Tapi pejabat daerah yang seharusnya libur, berbagi dengan keluarga di rumah harus bekerja ekstra, senyum sana senyum sini, cerita ini itu. Repotnya dari fraksi anu ingin meninjau proyek oleh PT Anu (kebetulan sama namanya). Karena PT Anu ingin dapat proyek tahun depan sang bos memberikan anu untuk pak anu dari fraksi anu. Pak pejabat pura-pura tidak tahu meskipun tahu pak anu dapat anu dari bos PT Anu, pak anu pura-pura tidak tahu kalau pak pejabat sebenarnya juga tahu (harap maklum), berikan saja beberapa anu, pak pejabat juga tahu pasti akhirnya dapat anu.

”Anggota dewan yang terhormat, terimakasih telah berkunjung.” Guide dadakan (capek) tapi sudah biasa.

“Oleh rakyat.”

Karena aku dan yang lainya sering mencuri ayam, kami sepakat memilih pak anu yang maling kambing, sebenarnya ada yang mengusulkan memilih pak itu tapi pak itu kemarin maling sapi, terlalu tinggi lah. Sepekan rapat akhirnya diputuskan untuk mendukung pak ini. Pak anu dan pak itu dianggap tidak bisa memperjuangkan nasib pencuri ayam. Buktinya saya kemarin habis-habisan digebuki massa gara-gara ayam pak RT hilang pan anu diam saja, parahnya ayam pak RT dijual anaknya buat beli pisang goreng.

”Nasib.... nasib.....!”

Dipikir-pikir jadi pencuri ayam banyak untungnya, meski sering dimaki, dicaci, digebuki, ditangkap polisi, diadili, dipenjara (makan gratis). Setelah dikurangi cacian sampai penjara keuntunganya tidak ada sama sekali. Remuk, sakit, malu, lapar.

”Nasib.... nasib.....!”

Saat menuju ruang sidang harus menutupi muka. Lha pak anu malah tersenyum, yakin tidak bersalah.

Negara kita kan negara hukum, ingat praduga tak bersalah, jadi sebelum pengadilan memutuskan berarti tidak bersalah.

”Betul......!”

Tapi meski cuma seekor ayam cukup membuat saya malu seumur hidup lho pak.

”Pemilu sebentar.. lagi....”

”Pemilu sebentar.. lagi....”

”Hari yang dinanti-nanti........”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut