Sabtu, 28 Februari 2009

Bapak Republik yang Dilupakan 7

Kerani yang Baik Hati

Tan Malaka membangkitkan gerakan buruh di Bayah. Tempo menapak tilas perjalanannya.
PENDENGARANNYA tak lagi sempurna. Ingatannya pun telah memudar. Dia hanya menggelengkan kepala ketika ditanyai soal usianya. Parino, dalam kartu tanda penduduk, lahir di Purworejo pada Februari 1917. Sedangkan data Romusha Kecamatan Bayah mencatat nama Amat Parino kelahiran Purworejo 1924.

Parino kini tinggal di Kampung Pulo Manuk, Desa Darmasari, Bayah, Banten Selatan—sekitar 230 kilometer dari Jakarta. Dia diboyong dari Purworejo, Jawa Tengah, untuk bekerja di bagian lubang tambang batu bara. Parino tidak tahu persis usianya ketika itu. Yang diingatnya, ”Saya belum menikah, tapi sudah disunat,” ujarnya sambil tertawa.

Bayah menjadi tempat berkumpul romusha dan pegawai pertambangan sejak Jepang mengeksploitasi tambang batu bara pada 1 April 1943. Pada awal penambangan, sekitar 20 ribu orang datang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, termasuk Parino. Di kawasan pesisir selatan inilah Ibrahim Datuk Tan Malaka singgah dan bekerja sebagai juru tulis.

Tan Malaka datang ke Bayah pada Juni 1943. Dia dikenal masyarakat Bayah dengan nama samaran Ilyas Hussein. Parino lamat-lamat mengingat nama Hussein sebagai seorang kerani atau juru tulis. ”Kalau enggak salah, orangnya sangat pintar,” kata Parino.
Bayah dengan luas sekitar 15 ribu hektare menjadi satu-satunya tempat yang mengandung batu bara di Pulau Jawa sebelum Jepang datang. Belanda telah memberikan izin membuka tambang kepada perusahaan swasta sejak 1903, tapi belum mengeksploitasinya.

Sebelum 1942, kebutuhan batu bara di Jawa dipasok dari Sumatera dan Kalimantan. Namun angkutan pelayaran Jepang banyak terpakai oleh kepentingan perang. Jepang ingin Jawa mandiri dalam memenuhi kebutuhan batu bara.

Jepang membuka tambang lewat perusahaan Sumitomo. Mereka membuka jalur kereta api dari Saketi, Pandeglang, menuju Bayah—sekitar 90 kilometer. Dari Bayah, kereta bersambung menuju ke lokasi penambangan seperti Gunung Madur, Tumang, dan Cihara. Kini beberapa lokasi masih ditambang penduduk, sedangkan yang lain terbengkalai begitu saja.

Tan bekerja di Bayah setelah melamar ke kantor Sosial. Dia butuh penghasilan sekaligus tempat bersembunyi. Waktu itu, perusahaan di Bayah membutuhkan 30 pekerja—bukan romusha. Tan melamar tanpa ijazah. Dia mengaku bersekolah di MULO (setara dengan sekolah menengah pertama) dua tahun dan pernah menjadi juru tulis di Singapura. Tan lulus dengan menyisihkan 50 pelamar.

Tan berangkat dengan kereta api dari Tanah Abang, berakhir di Stasiun Saketi. Saat itu kereta rute Saketi-Bayah belum beroperasi. Dia lalu meneruskan perjalanan dengan truk.

Dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, Tan mendapat cerita tentang asal-usul Saketi. Kata Saketi berasal dari bahasa Sunda, yang artinya 100 ribu. Konon, 100 ribu itu mengacu pada ramalan tentang banyaknya korban selama pembuatan jalur kereta Saketi-Bayah. Jadi, kalau jarak Saketi ke Bayah 90 kilometer, ada satu nyawa melayang dalam satu meter rel.

Stasiun Saketi menjadi tempat persimpangan kereta dari Jakarta menuju Bayah dan Labuan. Tempo—bersama penulis buku Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-1945 , Harry Albert Poeze—menelusuri rute perjalanan Tan dari Stasiun Saketi. Kini bangunan itu telah menjadi tempat tinggal anak kepala stasiun, Momo Mujaya, 58 tahun. Jalur Saketi-Bayah berhenti beroperasi pada 1950-an, disusul Saketi-Labuan sekitar 1980.

Sesampai di Bayah, Tan indekos di rumah warga, sebelum menghuni gubuk kecil dari bambu. Dia selalu memakai celana pendek, kemeja dengan leher terbuka, kaus panjang, helm tropis, dan tongkat. Dia berbicara dengan bahasa Indonesia, tapi jarang tampil di depan umum.

Tan sering menjelajahi pelosok, termasuk Pulo Manuk, enam kilometer dari Bayah. Tempat itu paling ditakuti, termasuk oleh tentara Jepang, karena penyakit kudis, disentri, dan malaria mewabah di sana. Waktu itu, penyakit dan kelaparan menjadi faktor utama kematian romusha di Bayah.

Suatu saat, Tan pernah diminta mengurusi data pekerja. Dia sering berhubungan dengan romusha dan mencatat jumlah kematian mereka. Dalam memoarnya, Tan mencatat 400-500 romusha meninggal setiap bulan. Hingga akhir pendudukan Jepang, luas tempat pemakaman romusha mencapai 38 hektare.

Keluar-masuk terowongan dan memberikan nasihat pentingnya kesehatan, Tan dikenal sebagai kerani yang baik hati. Dia suka membelikan makanan buat romusha dari upahnya sendiri. ”Kita dapat mempraktekkan rasa tanggung jawab terhadap golongan bangsa Indonesia yang menjadi korban militerisme Jepang,” kata Tan suatu ketika.

Di dalam perusahaan, dia selalu mengusulkan peningkatan kesejahteraan romusha. Tan termasuk anti-Jepang, tapi tetap bergaul dengan mereka, termasuk penjabat direktur Kolonel Tamura. Dia mencoba berbicara mengenai kesejahteraan pekerja, tapi upayanya sia-sia.

Romusha mendapat upah 0,40 gulden (40 sen) dan 250 gram beras setiap hari. Uang 40 sen hanya cukup buat membeli satu pisang. Dalam salah satu tulisannya, Rencana Ekonomi Berjuang, Tan mengatakan hitung-hitungan upah romusha hanya di atas kertas. Tulisan itu dia buat di Surabaya pada November 1945.

Di situ Tan melukiskan kondisi romusha di Bayah lewat percakapan dua tokoh cerita, si Toke dan si Godam. ”Seratus ton arang itu diperoleh dengan makian bagero saja. Tanah, mesin, dan tenaga romusha pun digedor,” ucap si Godam. Ringkasnya, Jepang sama sekali tidak mengeluarkan bayaran romusha.

Tan mencoba menggalang pemuda untuk memperbaiki nasib romusha. Dia menggagas dapur umum yang menyediakan makanan bagi seribu romusha. Mereka membangun rumah sakit di pinggiran Desa Bayah, Cikaret. Tan juga membuka kebun sayur dan buah-buahan di Tegal Lumbu, 30 kilometer dari Bayah.

Peran Tan semakin besar ketika dia ditunjuk sebagai Ketua Badan Pembantu Keluarga Peta—organisasi sosial yang membantu tentara bentukan Jepang, Pembela Tanah Air (Peta). Di bawah panji Badan Pembantu, Tan lebih leluasa mengadakan kegiatan kemasyarakatan, seperti pertunjukan sandiwara atau sepak bola.

Tim sandiwara dan sepak bola itu bernama Pantai Selatan. Pertunjukan sandiwara banyak bercerita tentang nasib romusha. Mereka pernah memainkan Hikayat Hang Tuah, Diponegoro, dan Puputan Bali.

Tim sepak bola juga pernah tampil dalam kejuaraan di Rangkasbitung. Tan menggagas pembangunan lapangan sepak bola di Bayah—kini menjadi terminal. Ia menjadi pemain sayap. Tapi Tan lebih sering menjadi wasit. Selesai bermain, dia biasanya mentraktir para pemain.

Pada September 1944, Soekarno dan Hatta berkunjung ke Bayah. Tan menjadi anggota panitia penyambutan tamu. Soekarno berpidato bahwa Indonesia bersama Jepang akan mengalahkan Sekutu. Setelah itu, Jepang memberikan kemerdekaan buat Indonesia. Soekarno meminta pekerja tambang membantu berjuang dengan meningkatkan produksi batu bara.

Selesai pidato, moderator Sukarjo Wiryopranoto mempersilakan hadirin bertanya. Saat itu Tan sedang memilih kue dan minuman untuk para tamu. Para penanya rupanya sering mendapat jawaban guyon sinis. Kepada Son-co (Camat) Bayah, misalnya, Sukarjo mengejek supaya ikut kursus ”Pangreh Praja”.

Tan gerah dengan suasana penuh ejekan itu. Dia pun menyimpan talam kue dan minuman di belakang, lalu bertanya: apakah tidak lebih tepat kemerdekaan Indonesialah kelak yang lebih menjamin kemenangan terakhir?

Soekarno menjawab bahwa Indonesia harus menghormati jasa Jepang menyingkirkan tentara Belanda dan Sekutu. Tan membantah. Menurut dia, rakyat akan berjuang dengan semangat lebih besar membela kemerdekaan yang ada daripada yang dijanjikan.
Tan melihat Soekarno jengkel. Menurut dia, Soekarno mungkin tidak pernah didebat ketika berpidato di seluruh Jawa. Apalagi bantahan itu dari Bayah, kota kecil di pesisir yang cuma dikenal karena urusan romusha dan nyamuk malaria. Tan ingin berbicara lebih panjang, tapi keburu dihentikan.

Awal Juni 1945, Tan menerima undangan dari Badan Pembantu Keluarga Peta Rangkasbitung untuk membicarakan kemerdekaan. Pertemuan itu untuk memilih dan mengirimkan wakil Banten ke pertemuan Jakarta. Tan—sebagai Hussein—didaulat menjadi wakil Banten ke konferensi Jakarta.

Pertemuan di Jakarta diadakan buat mempersatukan pemuda Jawa. Konferensi gagal terlaksana karena larangan Jepang. Tan hanya berbicara sebentar dengan kelompok pemuda angkatan baru, seperti Harsono Tjokroaminoto, Chaerul Saleh, Sukarni, dan B.M. Diah.

Kembali ke Bayah, Tan pindah tugas ke kantor pusat dan mencatat data mengenai romusha. Suatu ketika, Jepang mengumumkan rencana pemotongan ransum. Tan lalu mengemukakan keberatannya dengan berorasi di muka umum. Besoknya, Jepang membatalkan pengurangan ransum.

Di Jakarta, pidato Tan itu dikabarkan menjadi biang kerusuhan. Romusha melarikan diri dan mogok di Gunung Madur. Kempetai (polisi militer Jepang) di Bayah mulai mencari identitas Hussein. Tapi penyelidikan terhenti karena posisi Jepang kian genting. Jerman sudah menyerang dan Rusia menyerbu Jepang pada 9 Agustus 1945.
Tan melihat aktivitas orang Jepang mulai longgar. Dia memanfaatkan situasi itu untuk minta izin hadir dalam konferensi pemuda di Jakarta pada 14 Agustus. Dia menjadi utusan semua pegawai pertambangan dan mendapatkan surat pengantar untuk Soekarno dan Hatta.

Sesampai di Jakarta, dia hanya bertemu sebentar dengan Sukarni. Dia tidak mengetahui drama penculikan Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Setelah merdeka, Tan lebih banyak tinggal di Jakarta. Akhir Agustus, dia pergi ke Bayah mengunjungi pemimpin Peta, Djajaroekmantara.

Tan Malaka ke Bayah juga punya tujuan lain, yakni mengambil naskah Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika). Poeze mengatakan naskah itu tersimpan rapi tanpa diketahui siapa pun.

Di Bayah, kegiatan penambangan berangsur terhenti sepeninggal Jepang. Penduduk membumihanguskan Bayah saat agresi militer kedua Belanda pada 1948. Pemerintah setempat membuat tugu romusha pada 1950-an. ”Rasanya dulu lebih ramai ketimbang sekarang,” kata Haji Sukaedji, 73 tahun, warga kelahiran Bayah, kepada Tempo.
Stasiun Bayah kini menjadi tanah kosong penuh ilalang....

TEMPO, 25/XXXVII 11 Agustus 2008


Selengkapnya...

Sajak-sajak D.N. Aidit



Lumpur dan Kidung

- Hanja Inilah Djalannja –

sepatu setengah usang membenam dalam lumpur
menudju teratak,
air menetas dari atap
membasahi kekayaanku jang paling berharga
pengalaman djerman inggris perantjis rusia
tiongkok dan banjak lagi,
hasil pemikiran putera-putera dunia terbaik
temanku njenjak kembali setelah membuka pintu
kesunjian diluar membantuku
makin dalu makin djauh tenggelam,
ingat aku akan sumpah setia pada adjarannja.


kokok ajam djantan tak mengagetkan,
siang dan malam sama sdja,
djalan jang ditundjukkannja selamanja terang
kita pasti akan sampai keudjung djalan ini
dimana tak ada sepatu usang,
dimana tak ada lumpur membenam,
dimana tak ada teratak botjor,
tapi hanya inilah djalannya.

Djakarta, malam, 27 Djanuarti `55


Kini Ia sudah Dewasa
(menjambut ulang tahun ke-35 PKI)
23 Mei 1955

35 tahun jang lalu
Ia lahir
dengan kesakitan
Klas termadju,
Sebagai anak zaman
Jang akan melahirkan zaman.

Ia tahan taufan
dan tak lena karena sepoi
ia menjusup dihati Rakjat
lebih dalam dari laut Banda
Ia menghias hidup
lebih indah dari sunting tjempaka.

Ia dihidupkan oleh hidup,
tahan teror dan provokasi
dulu, sekarang dan nanti
Ia Antaeus, anak Poseidon
tak terkalahkan selama setia pada bumi
Ia anak zaman jang melahirkan zaman
Kini ia telah dewasa.


Tembok Granit
(kepada “Dewan2Partikelir” Dalam Munas)

Dengan ugjung bajonet itu
kau naikkan sikepala batu
duduk bersama Rakjat dan aku
Kau harap dapat menghambat
sedjarah jang djalannya tjepat
tak tahu kaulah yang kan kiamat;

Kau mau ulangi tjerita usang
tentang Negro empatlapan
tentang Magelang dan Ngalian
tau lupa Amir dan Hadji Bakri
lupa para petani bagi2 tanah
di Wonogiri dan Bojolali

Derap sepatu sedjarah
akan indjak2 sikepalabatu
dan bajonet itu akan patah
Tembok granit lebih keras
dari tembok batu
tembok granit Rakjat bersatu

Djakarta, 15 September 1957


Jang Mati Hidup Abadi

Lama nian aku tak menangis
tidak karena mata sudah mengerting
atau hati membeku dingin
tapi kali ini, dengan tak sedar
hati kepala penuh taktertahan
butir2 air mata membasahi koran pagi
Orang hitam berhati putih itu
dibunuh siputih berhati hitam!

Tapi, bukankah pembunuh terbunuh?
Lumumba sendiri hidup se-lama2nya
Lumumba mati hidup abadi
Kini dunia tidak untuk siputih jang hitam
tapi untuk semua
putih, kungin, sawomatang, hitam …….
Kini udara penuh Lumumba
karena Lumumba berarti merdeka.

Djakarta, 14 – 2 – 61


Radja Naik Mahkota Ketjil

Udara pagi ini tjerah benar
pemuda njanji nasakom bersatu
gelak ketawa gadis remadja
mendengar silalim naik tachta,
tapi konon mahkotanja ketjil.

Buruh dipabrik tani diladang
ibuibu menjusui anak
tibatiba nafas terlepas lega
mendengar siradja naik tachta,
tapi konon mahkotanja ketjil.

Ini pertanda zaman kita
jang lapuk terpaksa turun
jang baru terus membaru
bagi jang lama sudah magrib
baik jang baru mentari naik.

Ajo, madju terus kawan-kawan
halau dia kedjaring dan djerat
tangkap dia dan ikat erat
hadapkan dia kemahkamah Rakjat!

Djakarta, 23 Djuni 1962.


Kidung Dobrak Salahurus

Kau datang dari djauh adik
dari daerah bandjir dan lapar
dengan hati lebih keras dari bentjana
selamat datang dalam barisan kita

Dikala kidung itu kau tembangkan
bertambah indah tanah Priangan
sesubur seindah Priangan manis
itulah kini Partai Komunis

Tarik, tarik lebih tinggi suaramu
biar tukang-tukang salahurus tahu
bentji Rakjat dibawa mati
tjinta Rakjat pada PKI

Teruskan, teruskan tembangmu
bikin rakyat bersatu-padu
bikin Priangan madju dan djaja
alam indah Rakjat bahagia.

Tjipanas, 16 Djanuari 1983


Hati Dibakar Tjinta

Hati membara dibakar tjinta
hangat segar marak bernjala
langkah indah tjinta dan tjita
bagaikan bunga dikarang indah

Biarkan, biarkan ia membara
membakar dan bernjala
menghangatkan semua derita
menghangatkan setia mesra

Adakah hidup lebih bahagia
dari hati dibakar tjinta
padamu kasih padamu tjita
bagimu kasih tjintaku mesra

Adakah hati lebih gembira
dari hangat dibakar tjinta
padamu kasih padamu tjita
bagimu Partaiku djaja!

Djakarta, 2 Djuli 1963
Selengkapnya...

Bapak Republik yang Dilupakan 6

Gerilya Dua Sekawan

Tan Malaka dan Jenderal Soedirman sama-sama menentang diplomasi. Renggang setelah peristiwa Wirogunan.

SLAMET Gandhiwijaya adalah aktivis Murba. Ia tinggal di rumah besar di dekat stasiun Kedungrandu, 10 kilometer dari Purwokerto, Jawa Tengah. Tan Malaka kerap datang sembunyi-sembunyi ke rumah itu. Di sana, dia kemudian bertemu dengan para tokoh Persatuan Perjuangan.


Beberapa kali sepanjang tahun 1946, Tan datang khusus untuk menemui Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat, Jenderal Sudirman. Perintis Gunawan, putra bungsu Slamet—kini 49 tahun—mendapat cerita pertemuan kedua tokoh itu dari ibunya, Martini.
Setiap datang ke rumah itu, Soedirman selalu lebih dulu mencari Herman, sepupu Perintis. Sang Jenderal lalu menimang-nimang bocah itu sebelum masuk ke ruang makan. Di situ ia bertemu dengan Tan. ”Ibu langsung disuruh keluar. Dia tidak boleh mengikuti pertemuan,” kata Perintis.

Harry A. Poeze, sejarawan Belanda yang banyak menulis buku tentang Tan, mengatakan kedua tokoh itu berhubungan dekat. Mereka bertemu pertama kali dalam Konferensi Persatuan Perjuangan di Purwokerto, Januari 1946. ”Mereka mempunyai persamaan pendapat dan ideologi,” katanya.

Adam Malik, dalam buku Mengabdi Republik Jilid II: Angkatan 45, bahkan menyebut Tan dan Soedirman sebagai ”dwitunggal”. Ia menyamakan hubungan kedua tokoh dengan relasi Soekarno-Hatta serta Sutan Syahrir-Amir Syarifuddin. Adam menilai Tan dan Soedirman memiliki urat dan akar di kalangan pemuda radikal, anggota pasukan Pembela Tanah Air, dan bekas romusha. ”Di bawah pimpinan Tan dan Sudirman, para pemuda itu menyerang pos dan kubu pertahanan Jepang,” Adam menulis.

Keduanya juga diikat kesamaan sikap: menentang jalan diplomasi pemerintahan Sutan Syahrir. Bagi mereka, ”kemerdekaan harus seratus persen” dan ”berunding berarti kemerdekaan kurang dari seratus persen”.

Jalan oposisi Tan berbuah penjara. Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin memerintahkan penangkapannya. Pada 17 Maret 1946 beserta beberapa pemimpin Persatuan Pergerakan, dia diringkus di Madiun, Jawa Timur. Tan dijebloskan ke penjara Wirogunan, Yogyakarta. Dua belas pemimpin Barisan Banteng ditangkap dua bulan kemudian.

Soedirman tidak tinggal diam. Ia memerintahkan Panglima Divisi III Mayor Jenderal Sudarsono membebaskan semua tahanan pada 3 Juli 1946. Dengan perintah ini, Sudarsono dan pasukannya menyerbu penjara Wirogunan. Aksi ini membuat marah Presiden Soekarno. Ia memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto, penanggung jawab keamanan Yogyakarta—kelak menjadi presiden—agar menangkap Sudarsono.

Setelah peristiwa ini, hubungan Tan dan Soedirman merenggang. Soedirman menganggap koleganya terlalu jauh menekan Soekarno. Menurut Harry Poeze, Soedirman juga tidak setuju dengan langkah Tan membantu laskar rakyat yang secara politik bertentangan dengan tentara.

Adam Malik menulis, Presiden Soekarno berhasil meyakinkan Jenderal Soedirman untuk meninggalkan Tan. Sebagai balasan, ia mendukung penuh semua keputusan Sudirman sebagai panglima besar tentara. Sejarah mencatat, Tan dan Soedirman kembali ke jalan gerilya setelah Agresi Militer Belanda II pada 1948.

Dalam agresi itu, Belanda menangkap Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, Haji Agus Salim, dan para pejabat pemerintah. Mereka diasingkan ke Bangka. Sudirman lolos dari sergapan Belanda dan masuk hutan. Ia bergerilya di Jawa Tengah.

Tan berangkat ke Kediri dengan kereta api khusus, dikawal 50 orang. Ia bergabung dengan satu brigade Divisi IV Tentara Nasional Indonesia pimpinan Sabarudin di Blitar, Jawa Timur. Di markas pertahanan Desa Belimbing, Kediri, ia mendirikan Gabungan Pembela Proklamasi yang kemudian menjadi Gerilya Pembela Proklamasi.

Ia banyak menulis pamflet yang dia beri nama ”Dari Markas Murba Terpendam”. Lewat RRI Kediri, Tan menyerukan rakyat terus bergerilya melawan Belanda seperti Soedirman.

TEMPO, 25/XXXVII 11 Agustus 2008

Selengkapnya...

Bapak Republik yang Dilupakan 5



Si Mata Nyalang di Balai Societeit

Tan Malaka membangun Persatuan Perjuangan di Purwokerto. Upaya menyerang politik diplomasi pemerintah.

PURWOKERTO, kota kecil di selatan Jawa Tengah, menyala-nyala. Bintang Merah, bendera Murba, berderet-deret setengah kilometer dari alun-alun kota hingga Societeit, balai pertemuan merangkap gedung bioskop. Tiga ratusan orang memenuhi bangunan itu. Mereka wakil dari 141 organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan laskar.

Nirwan, guru Sekolah Rakyat dan aktivis Murba, mengingat petang itu, 4 Januari 1946, tepat seratus hari pasukan Sekutu mendarat di Jawa. ”Orang berduyun-duyun ke kota ingin menyaksikan tamu yang datang,” ujar pria yang saat itu berusia 16 tersebut.

Rapat politik itu dihadiri antara lain para pemimpin pusat Partai Sosialis, Partai Komunis Indonesia, Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Buruh Indonesia, Hizbullah, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi, dan Persatuan Wanita Indonesia. Rakyat jelata berjejal-jejal. Mereka antusias, karena Panglima Besar Jenderal Soedirman juga di tengah-tengah mereka.
Nirwan menuturkan peserta rapat tiba dengan kereta api. Mereka yang tiba dari Purbalingga, Wonosobo, Semarang, Yogyakarta, dan Solo turun di Stasiun Timur. Adapun peserta dari Jawa Barat turun di Stasiun Raya, kini stasiun di kota itu. Para kader Murba dari daerah dengan sukarela menyumbang pelbagai barang: sekadar beras atau gula merah. Tak hanya untuk konsumsi rapat, barang-barang yang terkumpul dijual untuk keperluan lain.

Murba ketika itu belum menjadi partai, melainkan gerakan rakyat jelata. Tan Malaka menggagasnya buat melawan kapitalisme dan penjajahan serta untuk menggapai kesejahteraan. Purwokerto dianggap merupakan basis kuat, karena itu Tan memilihnya untuk tempat kongres para pemimpin berbagai organisasi.

Di kota ini, Tan bersahabat kental dengan Slamet Gandhiwijaya. Tokoh Murba Purwokerto ini menjadi penyandang dana terbesar. Dari Slamet pula Nirwan mengenal sosok Tan Malaka. ”Slamet menjual sawah untuk biaya kongres,” kata Nirwan, yang menjadi Ketua Agitasi dan Propaganda setelah Tan mendeklarasikan Partai Murba pada November 1948.

Slamet pernah dibuang ke Digul karena aktif di gerakan kiri menentang Belanda. Saat pendudukan Jepang, pria kelahiran Madiun, Jawa Timur, 1901 ini dipercaya memimpin sejumlah proyek pembangunan, seperti jalan dan waduk. Belum semua proyek rampung, Sekutu menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.

Jepang kalah dan lari dari daerah pendudukannya di Asia Timur, termasuk Indonesia. Ketika Jepang menyingkir dari Jawa, menurut peneliti dan penulis buku tentang Tan Malaka, Harry A. Poeze, koper Slamet masih penuh uang. Duit ini yang dipakai untuk biaya gerakan politik.

Slamet tinggal di dekat Stasiun Kedungrandu, Kecamatan Patikraja, Banyumas, 10 kilometer dari Kota Purwokerto. Dulu, perusahaan kereta api Belanda, Serajoedal Stoomtram Maatschappij dan Serajoedal Staatspoor, mengoperasikan kereta api Cilacap-Stasiun Raya Purwokerto-Gombong yang melalui Kedungrandu. Jalur ini melintas di dekat aliran Sungai Serayu. Tapi pada 1936, dua perusahaan itu bangkrut.

Ada tiga rumah bekas petinggi perusahaan kereta api Belanda di Kedungrandu. Satu di antaranya ditempati keluarga Slamet. Di kiri-kanan rumah Slamet terhampar sawah. Di kejauhan tampak bukit-bukit hijau. Rumah Slamet menghadap ke utara, berpagar pohon petai cina. Di belakang rumah mengalir Kali Pematusan, sekaligus pembatas rumah dengan sawah. ”Dulu saya suka memetik klandingan (petai cina) di situ,” ungkap Nasirun, 66 tahun, tetangga Slamet.

Rumah berarsitektur Belanda ini telah dilengkapi telepon dan garasi mobil. Darmuji, 76 tahun, penduduk setempat, mengenal Slamet sebagai priyayi terpandang dan kaya di Patikraja. Orang kebanyakan, termasuk Darmuji, umumnya takut bertamu. ”Saya dan Den Slamet kan beda,” katanya.

Ketika pergi ke Purwokerto, Tan selalu menginap di sini. Di rumah ini pula Tan bertemu dengan Soedirman sebelum kongres. Slamet dan istrinya, Martini, memanggil Tan dengan sebutan Ohir. Mungkin diambil dari bahasa Belanda, ouheer, yang bermakna orang tua. Perintis Gunawan, 49 tahun, anak Slamet yang kini tinggal di Cireundeu, Tangerang, mendapat kisah ini dari ibunya.

Jika mendengar kabar mata-mata musuh mencari, Tan segera bersembunyi di perbukitan. Martini lihai merahasiakannya. ”Kalau Tan lari ke selatan, ibu saya bilang larinya ke utara,” kata Perintis. Rumah Slamet dijaga Nero, anjing peliharaan. Ada juga kolam ikan. Di sini ada ikan yang dinamai Yopi. ”Jika tangan Tan menaburkan pakan, Yopi langsung menyaut,” kata Perintis, mengingat kisah dari ibunya. Martini, yang kelahiran Purwokerto, 5 Oktober 1920, adalah aktivis perempuan Muhammadiyah, Aisyiah. Ia meninggal November tahun lalu.

Rumah Slamet sejak 1977 menjadi gedung Koperasi Unit Desa Patikraja. Memang, ia telah mengosongkan rumah itu seusai Agresi Belanda II pada Desember 1948. Ia membangun rumah di atas tanah milik sendiri, satu kilometer dari rumah lama. Slamet mengembalikan rumah lama kepada negara. Sejak itu rumah tidak dirawat. Kayu lapuk dan tembok ambrol. Kini, di atasnya berdiri bangunan baru sejumlah rumah. Bekas Stasiun Kedungrandu dibeli Si Kuan, pengusaha setempat, untuk penggilingan padi, yang hingga kini bertahan.

Di rumah baru, Slamet membuka usaha furnitur. Martini menekuni industri rumah kain batik. Slamet menempati rumah ini hingga ia meninggal 4 September 1966. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tanjung Nirwana, Purwokerto, sebagai perintis kemerdekaan. Kini, meja dan kursi tempat Tan berdiskusi dengan Soedirman sambil makan masih terawat. Meja kayu jati bulat telur itu semula hitam. Pelitur ulang mengubahnya menjadi cokelat.

Gedung pertemuan tempat Kongres Persatuan Perjuangan di Purwokerto itu sejak 1964 hingga kini menjadi gedung Radio Republik Indonesia di Jalan Jenderal Soedirman. Menurut Soegeng Wijono, 70 tahun, ahli sejarah ekonomi Purwokerto, gedung itu beberapa kali berubah nama. Pada zaman Belanda bernama Societeit. Jepang masuk berganti nama Gedung Asia Bersatu. Setelah Republik berdiri, disebut Balai Prajurit. ”Tapi orang-orang tua lebih suka menyebutnya Societeit,” kata Soegeng.

Untuk menuju Societeit, tempat kongres, Tan berangkat dari rumah Slamet menggunakan mobil yang ia bawa dari Yogyakarta. Banyak peserta kongres belum mengenal Tan. Koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta terbitan 6 Januari 1946, seperti ditulis Harry A. Poeze dalam bukunya, menggambarkan peserta rapat terdiam menahan napas menyambut Tan naik podium.

Koran Indonesia saat itu umumnya terbit hanya dua halaman. Jarang sekali koran menulis gambaran suasana. Kedaulatan Rakyat melaporkan:
Umur beliau lebih dari 50 tahun. Tetapi kelihatannya lebih muda. Badan beliau tegap, sehat, kuat, muka tampak segar. Mata agak kecil tapi tajam. Melihat kerut-kerut wajah beliau, maka kelihatanlah dengan nyata karakter beliau yang kukuh, kuat, dan berdisiplin. Pakaian sederhana. Berkemeja dan bercelana pendek dan berkaos kaki panjang.

Nuansa ketidakpuasan menyelimuti kongres. Para peserta tak sepakat dengan langkah diplomasi Soekarno-Hatta dan Perdana Menteri Sjahrir. Tan geram dengan para pemimpin yang tak bereaksi atas masuknya Sekutu ke Indonesia.

Tan mengajukan tujuh pasal program minimum: berunding untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan 100 persen, membentuk pemerintah rakyat, membentuk tentara rakyat, melucuti tentara Jepang, mengurus tawanan bangsa Eropa, menyita perkebunan musuh, dan menyita pabrik musuh untuk dikelola sendiri.

Menurut Tan, kemerdekaan 100 persen merupakan tuntutan mutlak. Sesudah musuh meninggalkan Indonesia, barulah diplomasi dimungkinkan. Tan bertamsil: orang tak akan berunding dengan maling di rumahnya. ”Selama masih ada satu orang musuh di Tanah Air, satu kapal musuh di pantai, kita harus tetap lawan,” katanya.

Jenderal Soedirman tak kalah garang. Ia berpidato di kongres: ”Lebih baik diatom (dibom atom) daripada merdeka kurang dari 100 persen.” Para peserta kongres akhirnya sepakat membentuk Persatuan Perjuangan.

Persatuan kemudian dideklarasikan di Balai Agung, Solo, pada 15 Januari 1946. Kongres Solo disebut Kongres I Persatuan Perjuangan. Dibuka pukul 10 pagi, kongres ini dihadiri 141 organisasi. Panitia mengundang Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan anggota kabinet. Tapi, yang datang hanya Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo, Jaksa Agung Gatot Taroenamihardjo, dan Panglima Besar Soedirman.

Sultan Yogya dan Susuhunan Solo mengirimkan wakil mereka. Peserta menginap di Hotel Merdeka, Solo.

Setelah bendera oposisi dikibarkan di Purwokerto, Tan ditangkap. Ia lalu dipenjarakan di sejumlah tempat: Wirogunan Yogyakarta, Madiun, Ponorogo, Tawangmangu, dan Magelang.

Ketika Tan dipenjara di Wirogunan pada 1946, anak muda Murba bernama Anwar Bey, kini 79 tahun, besuk bersama Abdullah, guru Meer Uitgebreid Lager Onderwijs Adabiyah Padang, juga orang Pari—Partai Republik Indonesia. Anwar kelak menjadi wartawan Antara dan Sekretaris Wakil Presiden Adam Malik. Mereka diutus pemuda Sumatera Barat. Perjumpaan itu cuma setengah jam dan mereka tak banyak bicara karena diawasi sipir pendukung Hatta. ”Tan hanya bilang teruskan perjuangan,” kata Anwar.

Konferensi itu sebenarnya direncanakan berlangsung di Malang, Jawa Timur, Desember 1945. Ketika itu, laskar dan tentara meninggalkan Surabaya setelah pertempuran 10 November 1945. Tapi, karena banyak wakil berada di Jawa Barat dan Jakarta, konferensi dimundurkan. Tan ke Cirebon menemui wakil-wakil organisasi dari pelbagai daerah. Selanjutnya, untuk pertama kalinya Tan bertemu dengan wakil organisasi dari kota-kota di Jawa pada 1 Januari 1946 di Demakijo, Godean, Yogyakarta. Mereka sepakat bertemu di Purwokerto.

Kelak, pertemuan Purwokerto diakui memberikan sumbangan besar. Ketika memperingati sewindu hilangnya Tan Malaka pada 19 Februari 1957, Kepala Staf Angkatan Darat Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution mengatakan pikiran Tan dalam Kongres Persatuan Perjuangan dan pada buku Gerpolek (Gerilya Politik Ekonomi) menyuburkan ide perang rakyat semesta. Perang rakyat semesta ini, menurut Nasution, sukses ketika rakyat melawan dua kali agresi Belanda. Terlepas dari pandangan politik, ia berkata, Tan harus dicatat sebagai tokoh ilmu militer Indonesia.


TEMPO, 25/XXXVII 11 Agustus 2008


Selengkapnya...

Bapak Republik yang Dilupakan 4



Kisruh Ahli Waris Obor Revolusi

Soekarno pernah memberikan testamen politik dan naskah proklamasi kepada Tan Malaka. Testamen itu belakangan dibakarnya.

SAYUTI Melik mengemban tugas penting. Tiga pekan setelah proklamasi, ia diminta Soekarno mencari Tan Malaka. Bung Karno mendengar desas-desus tokoh pergerakan itu ada di Jakarta.

Untungnya, Sayuti tahu di mana mencari Tan. Beberapa hari sebelumnya, Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo mempertemukannya dengan penulis buku Naar de Republiek Indonesia itu.

Pertemuan pun diatur. Soekarno meminta Soeharto, dokter pribadinya, menyediakan ruangan. Tapi ia merahasiakan siapa tamu yang akan datang. Dengan bersepeda, Sayuti menjemput Tan. Keduanya kemudian menuju rumah Soeharto—sekarang Apotek Titimurni—di Jalan Kramat Raya.

Kepada Soeharto, tokoh yang hidup 20 tahun dalam pelarian itu mengaku bernama Abdulradjak. Soeharto lalu membawa ”Abdulradjak” ke kamar belakang. Di sana Soekarno sudah menunggu. Sayuti ikut masuk, Soeharto menunggu di luar. Semua lampu di rumah itu dimatikan. Pertemuan dua tokoh dalam gelap itu terjadi pada malam Lebaran, 9 September 1945.

Soekarno membuka pembicaraan. Ia bertanya tentang Massa Actie—buku yang ditulis Tan pada 1926. Kemudian keduanya bicara tentang nasib revolusi Indonesia. Dalam pertemuan dua jam itu, Tan mendominasi pembicaraan, sementara Soekarno lebih banyak diam. ”Tan lebih berpengalaman dalam perjuangan,” kata Sayuti Melik. Kata-kata Tan tentang revolusi, kata Sayuti, belakangan hari sering dikutip Soekarno.

Ada pernyataan Tan yang sangat mengusik perhatian Bung Karno. Tan mengatakan, Belanda, dengan menumpang Sekutu, tidak lama lagi akan datang. Tan yakin, Jakarta akan jadi medan pertempuran. Itu sebabnya ia mengusulkan pemerintahan harus dipindahkan ke pedalaman.

Khawatir akan kemungkinan itu, Soekarno pun berkata, ”Jika nanti terjadi sesuatu pada diri kami sehingga tidak dapat memimpin revolusi, saya harap Saudara yang melanjutkan.” Sebelum menutup pertemuan, ia memberi Tan sejumlah uang. Kesaksian Sayuti itu ditulis dalam kolom Sekitar Testamen untuk Tan Malaka, dimuat di harian Sinar Harapan, September 1979.

Beberapa hari kemudian, Tan dan Soekarno bertemu lagi. Kali ini di rumah dokter Mawardi di Jalan Mampang. Mawardi adalah pemimpin Barisan Pelopor di masa pendudukan Jepang.

Seperti biasa, Sayuti ikut dalam pertemuan, tapi hanya boleh mendengarkan. Mereka bicara lagi tentang perjuangan kebangsaan. Di ujung percakapan, Soekarno berjanji akan menunjuk Tan sebagai penerus obor kemerdekaan.

Tan tidak bereaksi sepatah kata pun mengenai testamen itu. Dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, ia menganggap usul itu sebatas kehormatan dan tanda kepercayaan. ”Saya sudah cukup senang bertemu Presiden Republik Indonesia, republik yang sudah sekian lama saya idamkan,” katanya.

NIAT mengeluarkan testamen diucapkan Soekarno dalam rapat kabinet pada pekan ketiga September 1945. Bila Sekutu menawannya, ia akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada salah seorang yang mahir dalam perjuangan. Siapa orang itu, masih ia rahasiakan.

Ahmad Soebardjo tahu yang dimaksud Bung Karno tak lain adalah Tan Malaka. Ia tahu karena Tan pernah membicarakannya. Namun kelanjutan pembicaraan ihwal testamen baru terlaksana setelah Inggris akan mendarat. Juga ada selentingan, Sekutu akan menangkap Soekarno karena dianggap berkolaborasi dengan Jepang.

Situasi itu mendorong Soekarno bertemu dengan Tan Malaka, Iwa Koesoemasoemantri, dan Gatot Taroenamihardjo, di rumah Ahmad Soebardjo. Iwa dan Gatot saat itu Menteri Kesehatan dan Jaksa Agung. Pada 30 September, mereka sepakat menunjuk Tan sebagai ahli waris revolusi bila terjadi sesuatu pada Soekarno-Hatta.

Kemudian Soekarno pergi ke rumah Hatta. Setelah menceritakan pertemuan itu, Bung Hatta memberikan jawaban: ”Kenapa tidak bicara dulu kepada saya? Engkau mestinya kenal baik siapa itu Tan Malaka.”

Hatta menolak hasil pertemuan dan mengusulkan jalan keluar. Tongkat revolusi akan diteruskan kepada pemimpin dari empat kutub. Tan Malaka mewakili aliran paling kiri, Sutan Sjahrir dari kelompok kiri-tengah, Wongsonegoro wakil kalangan kanan dan feodal, serta Soekiman representasi kelompok Islam.

Soekarno puas dengan jalan tengah ini. Ia menelepon Soebardjo mengajak bertemu. Soebardjo, bersama Tan dan Iwa, menyambut Soekarno-Hatta besoknya. Di rumah Soebardjo, Hatta memaparkan pendapatnya.

Ia mengatakan bahwa keberadaan Tan di kalangan kiri bisa menyulut kontroversi karena Partai Komunis Indonesia tidak menyukainya. Hatta juga mengusulkan agar Tan melakukan perjalanan keliling Jawa. Selain memperkenalkan diri pada rakyat, juga untuk mengukur seberapa besar pengaruhnya. Usul Hatta disetujui.

Dalam pertemuan 1 Oktober itu, mereka juga setuju mengganti Soekiman dengan Iwa. Alasannya, Iwa sahabat Soekiman dan dekat dengan kelompok Islam. Soekarno lalu meminta Tan menyusun kata-kata testamen. Setelah semuanya setuju, naskah diketik Soebardjo dan dibuat rangkap tiga. Soekarno-Hatta lalu menandatanganinya. Soebardjo ditugasi memberikan teks itu kepada Sjahrir dan Wongsonegoro.

Belakangan terungkap, Soebardjo tidak pernah menyampaikan salinan teks itu kepada Sjahrir dan Wongsonegoro. Keduanya baru tahu setelah Hatta memberi kabar. Wakil presiden pertama itu menduga Soebardjo dan kubunya kecewa, wasiat batal diberikan kepada Tan seorang. Tapi, dalam bukunya Kesadaran Nasional, Soebardjo berdalih gonjang-ganjing revolusi menghambat penyampaian teks itu.

TAN memasukkan testamen ke tasnya. Ia lalu pergi keliling Jawa. Menurut Hadidjojo Nitimihardjo, putra Maruto Nitimihardjo—salah seorang aktivis Menteng 31, markas perjuangan pemuda setelah Proklamasi dan kini Gedung Joang 45 di kawasan Cikini, Jakarta— amplop yang dibawa Tan tak hanya berisi wasiat politik, tapi juga teks proklamasi yang diketik Sayuti Melik. Bung Karno, menurut Hadidjojo, memberinya satu paket.

Pada saat di Surabaya, Tan dikawal Laskar Minyak pimpinan Suryono. Atas usul Djohan Syahruhzah—belakangan menjadi Sekretaris Jenderal Partai Sosialis Indonesia—Tan kemudian dikawal Des Alwi selama sepekan. Des waktu itu bergabung dengan laskar Pemuda Republik Indonesia dan sedang menjalankan tugas intelijen melancarkan perang informasi terhadap Sekutu.

Mereka menginap di Gubeng pada 9 November. ”Malam itu saya sempat memijatnya,” kata Des, saat itu 18 tahun. Tan, yang mengaku bernama Hussein, lalu berkisah tentang pertempuran Shanghai, penyerangan tentara Cina terhadap Jepang pada 1932.
Pengetahuan Hussein membuat Des kagum. Anak angkat Sjahrir itu kemudian membawa Tan ke Sidoarjo. Di sana Des baru tahu, pria yang dikawalnya adalah Tan Malaka. Dari Sidoarjo, Tan berkeliling Jawa ditemani Djohan. ”Saat itu hubungan Tan dengan kubu Sjahrir belum retak,” kata Hadidjojo.

Tapi pertalian itu cuma sebentar. Belakangan hubungan kedua kubu itu rekah akibat Tan menentang politik Sjahrir. Lewat Persatuan Perjuangan—kumpulan 141 organisasi politik—Tan menentang kebijakan diplomasi yang dijalankan triumvirat Soekarno-Hatta-Sjahrir.

Keteguhan Tan yang gencar menentang perundingan berujung penjara. Ia bersama Sukarni, Chaerul Saleh, Muhammad Yamin, dan Gatot Abikusno ditangkap di Madiun pada 17 Maret 1946. Uniknya, berita pencidukan sudah menyebar di radio satu hari sebelumnya. Mereka dituduh hendak melakukan kudeta. Mereka ditahan terpisah, dipindah dari satu penjara ke penjara lain.

Namun Yamin dalam buku Sapta Darma menepis latar belakang itu. Ia mensinyalir, penahanan itu atas desakan Sekutu kepada Perdana Menteri Sjahrir agar perundingan berlangsung lancar. Mereka ”diamankan” sebelum delegasi Indonesia bertolak ke Belanda. Dugaan Yamin belakangan terbukti. Dalam persidangan Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin mengatakan Tan dan kelompoknya ditangkap karena sering melancarkan agitasi yang mengacaukan perundingan.

Sewaktu Tan di dalam sel inilah menyebar testamen politik palsu. Isinya menyatakan bahwa Soekarno-Hatta menyerahkan pimpinan revolusi kepada Tan Malaka seorang. Hatta menuding Chaerul Saleh otak dari kebohongan itu. Gara-gara itu, Hatta berniat mencabut keputusan pemberian testamen, tapi batal.

Dari penjara, Tan berhasil menyelundupkan amplop berisi testamen asli dan naskah proklamasi lewat kurir. ”Amplop itu diterima ayah saya,” kata Hadidjojo. Maruto saat itu duduk di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat di Yogyakarta.

Setelah dua tahun ia ditahan, kejaksaan baru menjatuhkan dakwaan. Tapi bukan atas tuduhan kudeta, melainkan menggerakkan barisan oposisi ilegal. Tan dan Sukarni dibebaskan pada September 1948 dari penjara Magelang, Jawa Tengah.

Setelah Tan bebas, Maruto mengembalikan testamen dan naskah proklamasi kepadanya. Ia juga mengatur pertemuan antara Tan dan Jenderal Soedirman di Yogyakarta. Kepada Pak Dirman, Tan mengatakan akan bergerilya ke Jawa Timur sekitar November 1948. Soedirman lalu memberinya surat pengantar dan satu regu pengawal.

Surat dari Soedirman itu diserahkan ke Panglima Divisi Jawa Timur Jenderal Sungkono. Oleh Sungkono, Tan dianjurkan bergerak ke Kepanjen, Malang Selatan. Tapi ia memutuskan pergi ke Kediri. Di sinilah, kata sejarawan Belanda Harry Albert Poeze, Tan dieksekusi pada 21 Februari 1949.

Sejak itu kasak-kasuk ihwal testamen meredup. Baru pada Mei 1972, polemik ahli waris revolusi mencuat di media massa. Moekhardi, mengutip buku George McTurnan Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia (1952), mengemukakan bahwa perancangan testamen itu taktik Tan Malaka merebut kekuasaan. Satu bulan kemudian, Sayuti menolak pendapat Kahin. Menurut dia, pertemuan dan pembuatan testamen atas prakarsa Soekarno.

Pekan berikutnya, giliran Soebagijo I.N.—atas hasil wawancara dengan Hatta—menulis, naskah testamen sudah diberikan Tan tapi belum ditandatangani. Soekarno akan memarafnya bila Bung Hatta setuju. Sedangkan Hatta menilai, sosok Tan di mata rakyat tidak populer. Buktinya, dalam perjalanan di Jawa, Tan beberapa kali hendak ditangkap.

Silang pendapat terus bermunculan. Perang pena di surat kabar reda setelah S.K. Trimurti—istri Sayuti—menulis surat pembaca di harian Sinar Harapan, akhir Oktober 1979. Trimurti membuka rahasia, Syamsu Harya Udaya menemuinya pada akhir 1964. Tokoh Murba, partai yang didirikan Tan, itu mengaku menyimpan testamen dan naskah Proklamasi. Syamsu memang sering menemani Tan sebelum sang tokoh tewas.

Daripada terus memercikkan perselisihan dan jadi rebutan, Trimurti menganjurkan testamen dihancurkan. Keduanya lalu menemui Aidit, yang dikenal dekat dengan Soekarno. Ketua Partai Komunis Indonesia itu mengatur pertemuan.

Soekarno kemudian mengundang ketiganya. Di Istana Negara, Trimurti menyerahkan seluruh naskah. Sementara teks proklamasi disimpannya, Bung Karno merobek-robek testamen dan membakarnya. ”Setelah itu kami pulang dengan perasaan lega,” kata Trimurti. Kisruh surat wasiat padam di tengah bara api.

TEMPO, 25/XXXVII 11 Agustus 2008


Selengkapnya...

Bapak Republik yang Dilupakan 3



Jalan Sunyi Tamu dari Bayah

Menggagas konsep republik sejak 1925, Tan Malaka justru terlambat mengetahui proklamasi. Semboyannya membakar semangat dan mengilhami rapat akbar di Lapangan Ikada.

IA memperkenalkan dirinya sebagai Ilyas Hussein. Datang dari Bayah, Banten Selatan, pria paruh baya itu bertamu ke rumah Sukarni di Jalan Minangkabau, Jakarta, awal Juni 1945. Di sana sudah ada Chaerul Saleh, B.M. Diah, Anwar, dan Harsono Tjokroaminoto. Tamu jauh itu hendak menghadiri kongres pemuda di Jakarta.

Memakai baju kaus, celana pendek hitam, dan topi perkebunan ditenteng di tangan, tamu itu disambut tuan rumah. Setelah sedikit basa-basi, Hussein menyampaikan analisisnya tentang kemerdekaan dan politik saat itu. Situasi memang lagi genting. Penjajah Jepang sudah di tubir jurang.

Ulasan Hussein tentang proklamasi membuat Sukarni terpukau. Pikiran Hussein sama persis dengan tulisan-tulisan Tan Malaka yang selama ini dipelajari Sukarni. Setelah mendengar analisis Hussein, Sukarni makin mantap: proklamasi harus segera diumumkan.

Sejarah mencatat, Hussein adalah Ibrahim Sutan Datuk Tan Malaka yang tengah menyamar. Sejak awal Sukarni curiga, tamunya tak mungkin hanya orang biasa—meski ia tak berani bertanya. ”Ia heran, bagaimana mungkin orang sekaliber Hussein hidup di wilayah terpencil,” kata sejarawan Belanda Harry A. Poeze.

Karni malah waswas. ”Ia takut kalau Hussein mata-mata Jepang,” kata Anwar Bey, bekas wartawan Antara dan koresponden Buletin Murba. Kekhawatiran yang campur aduk memaksa Sukarni memindahkan rapat ke rumah Maruto Nitimihardjo di Jalan Bogor Lama—sekarang Jalan Saharjo, Jakarta Selatan. Sebelum pergi, Sukarni meminta tamunya menginap satu malam. Hussein tidur di kamar belakang.

Pada saat rapat, analisis Hussein mempengaruhi pikiran Sukarni. Ide-ide Hussein dilontarkannya dalam rapat. ”Sukarni mendesak proklamasi jangan ditunda,” kata Adam Malik. Para pemuda setuju.

Sepulang rapat, Sukarni masih penasaran pada Hussein. Tapi lagi-lagi ia ragu bertanya. Sukarni baru bertemu besok paginya ketika tamunya mau pulang. ”Ia berpesan agar Hussein mempersiapkan pemuda Banten menyongsong proklamasi,” kata Anwar Bey, kini 79 tahun.
Kesaksian itu terungkap pada saat Sukarni memberikan sambutan dalam acara Sewindu Hilangnya Tan Malaka di Restoran Naga Mas, Bandung, Februari 1957. Anwar Bey malam itu hadir di sana.

Dari pertemuan itu, Tan sendiri menafsirkan, Chaerul dan Sukarni mengenal ide-ide politiknya. Tapi ia belum berani membuka jati diri. ”Saya masih menunggu kesempatan yang lebih tepat,” katanya dalam memoar Dari Penjara ke Penjara.

Ia lalu pulang ke Bayah, kembali bekerja sebagai juru ketik. Nama Hussein tetap digunakan. Saat itu usianya 48 tahun.

HUSSEIN kembali muncul di Jakarta pada 6 Agustus 1945. Ia membawa tas. Isinya celana pendek selutut, kemeja, dan kaus lengan panjang kumal. Kali ini yang dituju rumah B.M. Diah, Ketua Angkatan Baru, yang juga redaktur koran Asia Raya, satu-satunya koran yang terbit di Jakarta.

Utusan Bayah itu menanyakan kabar mutakhir situasi perang. Setelah satu jam Diah memberikan informasi, Hussein menyatakan pendapatnya. ”Pimpinan revolusi kemerdekaan harus di tangan pemuda,” katanya.

Tapi hubungan Hussein dengan Diah berlangsung singkat. Besoknya Diah ditangkap Jepang gara-gara menuntut kemerdekaan dan menentang sikap lunak Soekarno-Hatta. Tahu Diah ditangkap, Hussein pulang ke Bayah.

Di sana ia terus bergerak. Tiga hari kemudian dia terlibat rapat rahasia dengan para pemuda Banten di Rangkasbitung. Pertemuan satu setengah jam itu digelar di rumah M. Tachril, pegawai Gemeenschappelijk Electriciteitsbedrijf Bandoeng en Omstreken—Gabungan Perusahaan Listrik Bandung dan Sekitarnya.

Di sini Hussein mengobarkan pidato yang menggelora. ”Kita bukan kolaborator!” katanya. ”Kemerdekaan harus direbut kaum pemuda, jangan sebagai hadiah.” Kekalahan Jepang, menurut dia, tinggal menunggu waktu.

Pidato itu dilukiskan Poeze dalam buku terbarunya Verguisd en Vergeten Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949. ”Sebagai rakyat Banten dan pemuda yang telah siap merdeka, kami bersumpah mewujudkan proklamasi itu,” kata Hussein di ujung pidatonya.

Bila Soekarno-Hatta tidak mau menandatangani, Hussein memberikan jawaban tegas: ”Saya sanggup menandatanganinya, asal seluruh rakyat dan bangsa Indonesia menyetujui dan mendukung saya.”

Hussein diutus kembali ke Jakarta. Ia diminta menjalin kontak dengan Sukarni dan Chaerul Saleh. Peserta rapat mengantarnya ke stasiun Saketi, Pandeglang. Hussein naik kereta ke Jakarta.

SITUASI Jakarta tidak menentu. Kebenaran dan desas-desus berkelindan satu sama lain. Kempetai, polisi militer Jepang, mengintai di mana-mana. Para pemuda bergerak di bawah tanah, bersembunyi dari satu rumah ke rumah lain. Usaha Tan Malaka menjalin kontak dengan pemuda tak kesampaian.

Kesulitan Tan bertambah karena kehadirannya tempo hari di rumah Sukarni menyebar dan menjadi pergunjingan. Para pemuda bingung siapa sebenarnya Ilyas Hussein. Karena itu para pemuda jaga jarak bila Hussein muncul.

Peluang Tan menjalin kontak kian teruk karena sikap hati-hatinya yang berlebihan. Sebagai bekas orang buangan dan lama hidup dalam pelarian, Hussein merasa di bawah bayang-bayang penangkapan.

Tan akhirnya berhasil menemui Sukarni di rumahnya pada 14 Agustus sore. Ia mengusulkan agar massa pemuda dikerahkan. Tapi Sukarni sibuk. Di rumah itu banyak orang keluar-masuk. Banyak pula hal yang disembunyikannya, termasuk berita takluknya Jepang.

Ia juga khawatir rumahnya digerebek Kempetai. Itu sebabnya, Sukarni pergi meninggalkan Hussein. Seperti sebelumnya, ia diminta menunggu di kamar belakang. Kali ini bersama dua orang yang tak dikenal.

Salah satunya Khalid Rasyidi, aktivis pemuda Menteng 31. Menurut Khalid, Hussein sempat bertanya di mana tempat penyimpanan senjata Jepang. ”Ia menganjurkan perampasan senjata dalam rangka perjuangan kemerdekaan,” kata Khalid dalam ceramah di Gedung Kebangkitan Nasional, Agustus 1978.

Khalid juga yakin, Sukarni sudah tahu bahwa Hussein tak lain Tan Malaka. Soalnya, sebelum Khalid diminta menemui utusan Banten itu, Sukarni agak lama menunjukkan foto lama orang-orang pergerakan. ”Di antaranya foto Tan Malaka waktu masih muda,” kata Khalid. Poeze menyangsikan hal itu. Menurut dia, Sukarni hanya menduga-duga.

Malam itu Sukarni sempat pulang. Tapi setelah itu menghilang. Hussein besoknya berusaha menemui Chaerul Saleh di Jalan Pegangsaan Barat 30, tapi Chaerul tidak ada di rumah. Karena di sepanjang jalan santer terdengar kabar Jepang menyerah perang, Hussein kembali ke rumah Sukarni. Tapi usahanya sia-sia.

Hussein tidak tahu, Sukarni dan Chaerul akan menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Aksi itu dilakukan karena Soekarno-Hatta ngotot proklamasi dilakukan melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Sedangkan pemuda ingin merdeka tanpa campur tangan Jepang. Setelah berdebat di Rengasdengklok, Soekarno-Hatta bersedia meneken proklamasi. Teks proklamasi disiapkan di rumah Laksamana Maeda.

Naskah itu besoknya dibacakan di pekarangan rumah Soekarno, di Pegangsaan Timur 56. Upacara berlangsung singkat. Penguasa militer Jepang melarang berita proklamasi meluas di radio dan surat kabar. Itu sebabnya, Tan tidak tahu ada proklamasi. Ia tahu setelah orang ramai membicarakannya di jalan-jalan.

Terbatasnya peran Tan itu, kata Poeze, sungguh ironis. Padahal Tan orang Indonesia pertama yang menggagas konsep republik dalam buku Naar de Republiek Indonesia, yang ditulis pada 1925. Buku kecil ini kemudian menjadi pegangan politik tokoh pergerakan, termasuk Soekarno.

Dalam buku Riwayat Proklamasi Agustus 1945, Adam Malik melukiskan peristiwa itu sebagai ”kepedihan riwayat”. Sukarni bertahun-tahun membaca buku politik Tan. Tapi pada saat ia membutuhkan pikiran dari orang sekaliber Tan, Sukarni sungkan bertanya siapa Hussein sesungguhnya. ”Ia malah membiarkannya pergi jalan kaki, lepas dari pandangan mata,” kata Adam Malik.

Tan juga tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. ”Rupanya sejarah proklamasi 17 Agustus tidak mengizinkan saya campur tangan, hanya mengizinkan campur jiwa saja. Ini sangat saya sesalkan! Tetapi sejarah tidak mempedulikan penjelasan seorang manusia atau segolongan manusia.”

Setelah proklamasi, Tan berusaha menemui pemuda. Tapi mereka terus bergerak di bawah tanah. Pada 25 Agustus Tan akhirnya datang ke rumah Ahmad Soebardjo di Jalan Cikini Raya 82. Keduanya pernah bertemu di Belanda pada 1919. ”Pembantu kami mengatakan ada tamu ingin berjumpa,” kata Soebardjo. Tamu itu duduk di pojok ruangan.

Soebardjo kaget. ”Wah, kau Tan Malaka,” katanya. ”Saya kira sudah mati.” Tan menjawab sambil tertawa. ”Alang-alang tak akan musnah kalau tidak dicabut dengan akar-akarnya.” Setelah sempat bersenda-gurau, Soebardjo menawari Tan tinggal di paviliun rumahnya.

Sejak itu Tan diperkenalkan kepada beberapa tokoh seperti Iwa Koesoema Soemantri, Gatot Taroenamihardjo, Boentaran Martoatmojo. Ia juga dipertemukan dengan Nishijima Shigetada, Asisten Laksamana Maeda. Di depan Nishijima, ia bicara tentang revolusi, struktur politik, gerakan massa, hingga propaganda.

Nishijima terheran-heran. ”Bagaimana mungkin orang yang tampak seperti petani ini bisa menganalisis segala-galanya dengan begitu tajam,” katanya. Setelah lebih dari dua jam berbincang, Soebardjo menjelaskan bahwa kawannya ini tak lain Tan Malaka. Nishijima terkejut. Ia bangkit lalu menjabat tangan Tan lebih erat.

Kepada tamunya, Soebardjo meminta keberadaan Tan dirahasiakan. Sepekan menetap di rumah Soebardjo, lewat perantara Nishijima, Tan pindah ke rumah pegawai angkatan laut Jepang di Jalan Theresia. Ia sempat ke Banten membangun jaringan gerilya, lalu balik ke Jakarta. Pada pekan kedua September, ia pindah ke Kampung Cikampak, 18 kilometer sebelah barat Bogor. Sejak itu ia bolak-balik ke Jakarta.

Di Jakarta, kaum pemuda terus bergerak. Mereka melihat pemerintah tidak bekerja mengisi kemerdekaan meski kabinet telah dibentuk. ”Mereka cuma kumpul-kumpul di gedung Pegangsaan,” kata Adam Malik. ”Seperti tidak ada rencana.”

Itu sebabnya, sebagian pemuda mengusulkan demonstrasi. Tapi sebagian lain ingin membentuk Palang Merah dan mengurus tawanan perang. Pemuda yang berkumpul di Jalan Prapatan 10, sekarang Jalan Kwitang, terbelah.

Pemuda prodemonstrasi meninggalkan Jalan Prapatan menuju Menteng 31. ”Ini kesempatan kita mempraktekkan Massa Actie,” kata Sukarni mengutip buku Tan yang menjadi pegangan pemuda. Setelah itu mereka membentuk Komite van Actie. Komite ini mengambil alih sarana transportasi dan mengibarkan bendera Merah-Putih di mana-mana.

Karena kabinet belum ada kegiatan, Soebardjo—saat itu sudah Menteri Luar Negeri—meminta nasihat Tan yang lalu mengusulkan agar propaganda dilakukan lewat semboyan-semboyan. ”Tan ikut mengusulkan kata-katanya,” kata Hadidjojo Nitimihardjo, putra Maruto. Semboyan itu ditulis pemuda di tembok-tembok, mobil, dan kereta api hingga tersebar ke luar Jakarta, dibuat dalam bahasa Indonesia dan Inggris agar menarik perhatian dunia.

Sejak itu Soekarno mendengar kemunculan Tan. Ia meminta Sayuti Melik mencarinya. Dua tokoh itu akhirnya diam-diam bertemu dua kali pada awal September 1945. Pertemuan itu menjadi rahim lahirnya testamen politik. Isinya: ”Bila Soekarno-Hatta tidak berdaya lagi, pimpinan perjuangan akan diteruskan oleh Tan, Iwa Koesoema, Sjahrir, dan Wongsonegoro.”

Kasak-kusuk kehadiran Tan makin santer. Para pemuda membicarakannya di Menteng 31. Tan saat itu tinggal di rumah Pak Karim, tukang jahit di Bogor. Sukarni dan Adam Malik mencarinya ke sana. Mereka berhasil bertemu, tapi ragu identitas Tan. ”Apalagi saat itu banyak muncul Tan Malaka palsu,” kata Hadidjojo.

Untuk memastikan, para pemuda membawa Soediro—kenalan Tan di Semarang pada 1922—beberapa hari kemudian. Sesudah itu mereka membawa guru Halim, teman sekolah Tan di Bukittinggi. Tan juga dicecar soal Massa Actie karena banyak Tan Malaka palsu tidak bisa menjelaskan isi buku tersebut.

Maruto bahkan menyarankan agar pemuda tidak begitu saja mempercayai Tan. Ia rupanya mendengar Tan sudah bertemu Soekarno. Tapi setelah mendengar kata-kata Tan, kaum pemuda yakin tokoh legendaris itu anti-fasis.

Tan juga sepakat dengan aksi pemuda Menteng 31. ”Ia mengusulkan demonstrasi yang lebih besar,” kata Hadidjojo. Demonstrasi digelar untuk mengukur seberapa kuat rakyat mendukung proklamasi. Ide ini melecut pemuda menggelar rapat akbar di Lapangan Ikada. ”Tan berada di balik layar,” kata Poeze.

Pemuda mendapat kuliah dari Tan tentang perjuangan revolusioner. Persinggungan pemuda dengan Tan berlangsung antara 8 dan 15 September 1945. Sekelompok pemuda, antara lain Abidin Effendi, Hamzah Tuppu, Pandu Kartawiguna, dan Syamsu Harya Udaya, diperkenalkan kepada Tan. Sukarni lalu mengirim Hamzah, Syamsu, dan Abidin ke Surabaya untuk mengorganisasi para pelaut.

Di Jakarta, kelompok pemuda menggelar rapat. Mereka menyiapkan demonstrasi pada 17 September—tepat sebulan setelah proklamasi. Tapi unjuk rasa diundur dua hari. Ada anekdot, tanggal itu dipilih karena para pemuda jengkel dimaki-maki Bung Karno bulan sebelumnya. ”Bung Karno marah karena pemuda menggelar pawai di taman Matraman pakai obor dua hari setelah proklamasi,” kata Hadidjojo mengutip Maruto, ayahnya.

Pamflet aksi disebar dan ditempel di mana-mana. Sukarni keluar-masuk kampung, menemui kepala desa, tokoh masyarakat, pemuda, hingga kiai, agar datang ke Lapangan Ikada. Mahasiswa meminta Soekarno hadir juga. Tapi presiden pertama itu menolak.

Pada hari yang ditentukan, massa berbondong-bondong datang. Senapan mesin Jepang dibidikkan ke arah kerumunan. Tapi gelombang massa terus berdatangan. Jumlahnya diperkiran 200 ribu. Di bawah terik, mereka menunggu berjam-jam. Salah satu yang hadir almarhum Pramoedya Ananta Toer. ”Itulah pertama kali saya saksikan orang Indonesia tidak takut lagi pada Dai Nippon,” kata Pram, saat itu berusia 20.

Sementara sidang kabinet pagi itu terbelah. Sebagian menteri setuju hadir di Ikada. Sedangkan yang menolak takut ada pertumpahan darah. Rapat berjalan alot. Pukul empat sore, Soekarno memutuskan datang menenteramkan rakyat yang sudah menunggu berjam-jam. ”Saya tidak akan memaksa. Menteri yang mau tinggal di rumah silakan,” katanya.

Rombongan Soekarno-Hatta pergi menuju Ikada. Poeze menduga, Tan Malaka ikut dalam rombongan. ”Ia satu-satunya yang memakai topi, jalan berdampingan dengan Soekarno menuju podium,” kata Poeze.

Di mimbar Soekarno berpidato lima menit. Suaranya lunak. Ia meminta rakyat tetap tenang dan percaya pada pemerintah, yang akan mempertahankan proklamasi. Massa diminta pulang. Setelah itu, barisan bubar meninggalkan lapangan.

Hasil demonstrasi itu menyesakkan Tan. Pidato itu, katanya, tidak menggemborkan semangat berjuang. ”Tidak mencerminkan massa aksi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.”

TEMPO, 25/XXXVII 11 Agustus 2008



Selengkapnya...

Bapak Republik yang Dilupakan 2



DIA YANG MAHIR DALAM REVOLUSI

Hatinya terlalu teguh untuk berkompromi. Maka ia diburu polisi rahasia Belanda, Inggris, Amerika, dan Jepang di 11 negara demi cita-cita utama: kemerdekaan Indonesia.

Ia, Tan Malaka, orang pertama yang menulis konsep Republik Indonesia. Muhammad Yamin menjulukinya ”Bapak Republik Indonesia”. Soekarno menyebutnya ”seorang yang mahir dalam revolusi”. Tapi hidupnya berakhir tragis di ujung senapan tentara republik yang didirikannya.

Ia seorang yang telah melukis revolusi Indonesia dengan bergelora. Namanya Tan Malaka, atau Ibrahim Datuk Tan Malaka, dan kini mungkin dua-tiga generasi melupakan sosoknya yang lengkap ini: kaya gagasan filosofis, tapi juga lincah berorganisasi.
ORDE Baru telah melabur hitam peran sejarahnya. Tapi, harus diakui, di mata sebagian anak muda, Tan mempunyai daya tarik yang tak tertahankan. Sewaktu Soeharto berkuasa, menggali pemikiran serta langkah-langkah politik Tan sama seperti membaca novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Buku-bukunya disebarluaskan lewat jaringan klandestin. Diskusi yang membahas alam pikirannya dilangsungkan secara berbisik. Meski dalam perjalanan hidupnya Tan akhirnya berseberangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), sosoknya sering kali dihubungkan dengan PKI: musuh abadi Orde Baru.
Perlakuan serupa menimpa Tan di masa Soekarno berkuasa. Soekarno, melalui kabinet Sjahrir, memenjarakan Tan selama dua setengah tahun, tanpa pengadilan.

Perseteruannya dengan para pemimpin pucuk PKI membuat ia terlempar dari lingkaran kekuasaan. Ketika PKI akrab dengan kekuasaan, Bung Karno memilih Musso—orang yang telah bersumpah menggantung Tan karena pertikaian internal partai—ketimbang Tan. Sedangkan D.N. Aidit memburu testamen politik Soekarno kepada Tan. Surat wasiat itu berisi penyerahan kekuasaan kepemimpinan kepada empat nama—salah satunya Tan—apabila Soekarno dan Hatta mati atau ditangkap. Akhirnya Soekarno sendiri membakar testamen tersebut. Testamen itu berbunyi: ”...jika saya tiada berdaya lagi, maka saya akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada seorang yang telah mahir dalam gerakan revolusioner, Tan Malaka.”

Politik memang kemudian menenggelamkannya. Di Bukittinggi, di kampung halamannya, nama Tan cuma didengar sayup-sayup. Ketika Harry Albert Poeze, sejarawan Belanda yang meneliti Tan sejak 36 tahun lalu, mendatangi Sekolah Menengah Atas 2 Bukittinggi, Februari lalu, guru-guru sekolah itu terkejut. Sebagian guru tak tahu Tan pernah mengenyam pendidikan di sekolah yang dulu bernama Kweekschool (sekolah guru) itu pada 1907-1913. Sebagian lain justru tahu dari murid yang rajin berselancar di Internet. Mereka masih tak yakin, sampai kemudian Poeze datang. Poeze pun menemukan prasasti Engku Nawawi Sutan Makmur, guru Tan, tersembunyi di balik lemari sekolah.

Di sepanjang hidupnya, Tan telah menempuh pelbagai royan: dari masa akhir Perang Dunia I, revolusi Bolsyewik, hingga Perang Dunia II. Di kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia, lelaki kelahiran Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 ini merupakan tokoh pertama yang menggagas secara tertulis konsep Republik Indonesia. Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928), dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933).

Buku Naar de Republiek dan Massa Actie (1926) yang ditulis dari tanah pelarian itu telah menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Tokoh pemuda radikal Sayuti Melik, misalnya, mengenang bagaimana Bung Karno dan Ir Anwari membawa dan mencoret-coret hal penting dari Massa Actie. Waktu itu Bung Karno memimpin Klub Debat Bandung. Salah satu tuduhan yang memberatkan Soekarno ketika diadili di Landrat Bandung pada 1931 juga lantaran menyimpan buku terlarang ini. Tak aneh jika isi buku itu menjadi ilham dan dikutip Bung Karno dalam pleidoinya, Indonesia Menggugat.

W.R. Supratman pun telah membaca habis Massa Actie. Ia memasukkan kalimat ”Indonesia tanah tumpah darahku” ke dalam lagu Indonesia Raya setelah diilhami bagian akhir dari Massa Actie, pada bab bertajuk ”Khayal Seorang Revolusioner”. Di situ Tan antara lain menulis, ”Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri.... Kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya.”
Di seputar Proklamasi, Tan meno-rehkan perannya yang penting. Ia menggerakkan para pemuda ke rapat raksasa di Lapangan Ikada (kini kawasan Monas), 19 September 1945. Inilah rapat yang menunjukkan dukungan massa pertama terhadap proklamasi kemerdekaan yang waktu itu belum bergema keras dan ”masih sebatas catatan di atas kertas”. Tan menulis aksi itu ”uji kekuatan untuk memisahkan kawan dan lawan”. Setelah rapat ini, perlawanan terhadap Jepang kian berani dan gencar.

Kehadiran Tan di Lapangan Ikada menjadi cerita menarik tersendiri. Poeze bertahun-tahun mencari bukti kehadiran Tan itu. Sahabat-sahabat Tan, seperti Sayuti Melik, bekas Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo, dan mantan Wakil Presiden Adam Malik, telah memberikan kesaksian. Tapi kesaksian itu harus didukung bukti visual. Dokumen foto peristiwa itu tak banyak. Memang ada rekaman film dari Berita Film Indonesia. Namun mencari seorang Tan di tengah kerumunan sekitar 200 ribu orang dari pelbagai daerah bukan perkara mudah.

Poeze mengambil jalan berputar. Ia menghimpun semua ciri khas Tan dengan mencari dokumen di delapan dari 11 negara yang pernah didatangi Tan. Tan, misalnya, selalu memakai topi perkebunan sejak melarikan diri di Filipina (1925-1927). Ia cuma membawa paling banyak dua setel pakaian. Dan sejak keterlibatannya dalam gerakan buruh di Bayah, Banten, pada 1940-an, ia selalu memakai celana selutut. Ia juga selalu duduk menghadap jendela setiap kali berkunjung ke sebuah rumah. Ini untuk mengantisipasi jika polisi rahasia Belanda, Jepang, Inggris, atau Amerika tiba-tiba datang menggerebek. Ia memiliki 23 nama palsu dan telah menjelajahi dua benua dengan total perjalanan sepanjang 89 ribu kilometer—dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara di Amerika Latin.

Satu lagi bukti yang mesti dicari: berapa tinggi Tan sebenarnya? Di buku Dari Penjara ke Penjara II, Tan bercerita ia dipotret setelah cukur rambut dalam tahanan di Hong Kong. ”Sekonyong-konyong tiga orang memegang kuat tangan saya dan memegang jempol saya buat diambil capnya. Semua dilakukan serobotan,” ucap Tan. Dari buku ini Poeze pun mencari dokumen tinggi Tan dari arsip polisi Inggris yang menahan Tan di Hong Kong. Eureka! Tinggi Tan ternyata 165 sentimeter, lebih pendek daripada Soekarno (172 sentimeter). Dari ciri-ciri itu, Poeze menemukan foto Tan yang berjalan berdampingan dengan Soekarno. Tan terbukti berada di lapangan itu dan menggerakkan pemuda.

Tan tak pernah menyerah. Mungkin itulah yang membuatnya sangat kecewa dengan Soekarno-Hatta yang memilih berunding dan kemudian ditangkap Belanda. Menurut Poeze, Tan berkukuh, sebagai pemimpin revolusi Soekarno semestinya mengedepankan perlawanan gerilya ketimbang menyerah. Baginya, perundingan hanya bisa dilakukan setelah ada pengakuan kemerdekaan Indonesia 100 persen dari Belanda dan Sekutu. Tanpa itu, nonsens.

Sebelum melawan Soekarno, Tan pernah melawan arus dalam kongres Komunisme Internasional di Moskow pada 1922. Ia mengungkapkan gerakan komunis di Indonesia tak akan berhasil mengusir kolonialisme jika tak bekerja sama dengan Pan-Islamisme. Ia juga menolak rencana kelompok Prambanan menggelar pemberontakan PKI 1926/1927. Revolusi, kata Tan, tak dirancang berdasarkan logistik belaka, apalagi dengan bantuan dari luar seperti Rusia, tapi pada kekuatan massa. Saat itu otot revolusi belum terbangun baik. Postur kekuatan komunis masih ringkih. ”Revolusi bukanlah sesuatu yang dikarang dalam otak,” tulis Tan. Singkat kata, rencana pemberontakan itu tak matang.

Penolakan ini tak urung membuat Tan disingkirkan para pemimpin partai. Tapi, bagi Tan, partai bukanlah segala-galanya. Jauh lebih penting dari itu: kemerdekaan nasional Indonesia. Dari sini kita bisa membaca watak dan orientasi penulis Madilog ini. Ia seorang Marxis, tapi sekaligus nasionalis. Ia seorang komunis, tapi kata Tan, ”Di depan Tuhan saya seorang muslim” (siapa sangka ia hafal Al-Quran sewaktu muda). Perhatian utamanya adalah menutup buku kolonialisme selama-lamanya dari bumi Indonesia.

Berpuluh tahun namanya absen dari buku-buku sejarah; dua-tiga generasi di antara kita mungkin hanya mengenal samar-samar tokoh ini. Dan kini, ketika negeri ini genap 63 tahun, majalah ini mencoba melawan lupa yang lahir dari aneka keputusan politik itu, dan mencoba mengungkai kembali riwayat kemahiran orang revolusioner ini. Sebagaimana kita mengingat bapak-bapak bangsa yang lain: Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Mohammad Natsir, dan lainnya.

TEMPO, 25/XXXVII 11 Agustus 2008

Selengkapnya...

Bapak Republik yang Dilupakan 1



Tan Malaka, Sejak Agustus Itu

SAYA bisa bayangkan pagi hari 17 Agustus 1945 itu, di halaman sebuah rumah di Jalan Pegangsaan, Jakarta: menjelang pukul 09:00, semua yang hadir tahu, mereka akan melakukan sesuatu yang luar biasa.

Hari itu memang ada yang menerobos dan ada yang runtuh. Yang runtuh bukan sebuah kekuasaan politik; Hindia Belanda sudah tak ada, otoritas pendudukan Jepang yang menggantikannya baru saja kalah. Yang ambruk sebuah wacana.

Sebuah wacana adalah sebuah bangunan perumusan. Tapi yang berfungsi di sini bukan sekadar bahasa dan lambang. Sebuah wacana dibangun dan ditopang kekuasaan, dan sebaliknya membangun serta menopang kekuasaan itu. Ia mencengkeram. Kita takluk dan bahkan takzim kepadanya. Sebelum 17 Agustus 1945, ia membuat ribuan manusia tak mampu menyebut diri dengan suara penuh, ”kami, bangsa Indonesia”–apalagi sebuah ”kami” yang bisa ”menyatakan kemerdekaan”.

Agustus itu memang sebuah revolusi, jika revolusi, seperti kata Bung Karno, adalah ”menjebol dan membangun”. Wacana kolonial yang menguasai penghuni wilayah yang disebut ”Hindia Belanda” jebol, berantakan. Dan ”kami, bangsa Indonesia” kian menegaskan diri.

Sebulan kemudian, 19 September 1945, dari pelbagai penjuru orang mara berduyun menghendaki satu rapat akbar untuk menegaskan ”kemerdekaan” mereka, ”Indonesia” mereka. Bahkan penguasa militer Jepang tak berdaya menahan pernyataan politik orang ramai di Lapangan Ikada itu.

Dua tahun kemudian, meletus pertempuran yang nekat, sengit, dan penuh korban, ketika ratusan pemuda melawan kekuatan militer Belanda yang hendak membuat negeri ini ”Hindia Belanda” kembali. Dari medan perang itu Pramoedya Ananta Toer mencatat dalam Di Tepi Kali Bekasi: sebuah revolusi besar sedang terjadi, ”revolusi jiwa—dari jiwa jajahan dan hamba menjadi jiwa merdeka….”

Walhasil, sebuah subyek (”jiwa merdeka”) lahir. Agaknya itulah makna dari mereka yang gugur, terbaring, tinggal jadi ”tulang yang berserakan, antara Krawang dan Bekasi”, seperti disebut dalam sajak Chairil Anwar yang semua kita hafal. Subyek lahir sebagai sebuah laku yang ”sekali berarti/sudah itu mati”, untuk memakai kata-kata Chairil lagi dari sajak yang lain. Sebab subyek dalam revolusi adalah sebuah tindakan heroik, bukan seorang hero.

Dalam hal ini Tan Malaka benar: ”Revolusi bukanlah suatu pendapatan otak yang luar biasa, bukan hasil persediaan yang jempolan dan bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa.”

Tan Malaka menulis kalimat itu dalam Aksi Massa yang terbit pada 1926. Dua puluh tahun kemudian memang terbukti bahwa, seperti dikatakannya pula, ”Revolusi timbul dengan sendirinya sebagai hasil dari berbagai keadaan.”
Itulah Revolusi Agustus.

Tapi kemudian tampak betapa tak mudahnya memisahkan perbuatan yang heroik dari sang X yang berbuat, yang terkadang disambut sebagai ”hero” atau ”pelopor”. Sebab tiap revolusi digerakkan oleh sebuah atau sederet pilihan + keputusan, dan tiap keputusan selalu diambil oleh satu orang atau lebih. Dan ketika revolusi hendak jadi perubahan yang berkelanjutan, ia butuh ditentukan oleh satu agenda. Ia juga akan dibentuk oleh satu pusat yang mengarahkan proses untuk melaksanakan agenda itu.

Sekitar seperempat abad setelah 1945, Bung Karno, yang ingin menegaskan bahwa Revolusi Agustus ”belum selesai”, mengutarakan sebuah rumus. Ia sebut ”Re-So-Pim”: Revolusi-Sosialisme-Pimpinan. Bagi Bung Karno, revolusi Indonesia mesti punya arah, punya ”teori”, yakni sosialisme, dan arah itu ditentukan oleh pimpinan, yakni ”Pemimpin Besar Revolusi”.

Tan Malaka tak punya rumus seperti itu. Tapi ia tetap seorang Marxis-Leninis yang yakin akan perlunya ”satu partai yang revolusioner”, yang bila berhubungan baik dengan rakyat banyak akan punya peran ”pimpinan”.

Bahwa ia percaya kepada revolusi yang ”timbul dengan sendirinya”, hasil dari ”berbagai keadaan”, menunjukkan bagaimana ia, seperti hampir tiap Marxis-Leninis, berada di antara dua sisi dialektika: di satu sisi, perlunya ”teori” atau ”kesadaran” tentang revolusi sosialis; di sisi lain, perlunya (dalam kata-kata Tan Malaka) ”pengupasan yang cocok betul atas masyarakat Indonesia”.

Di situ, ada ambiguitas. Tapi ambiguitas itu agaknya selalu menghantui agenda perubahan yang radikal ke arah pembebasan Indonesia.

TAK begitu jelas, apa yang dikerjakan Tan Malaka pada Agustus 1945. Yang bisa saya ikuti adalah yang terjadi sejak proklamasi kemerdekaan bergaung.

Beberapa pekan setelah 17 Agustus 1945, di Serang, wilayah Banten, Tan Malaka bertemu dengan Sjahrir. Mungkin itulah buat pertama kalinya tokoh kiri radikal di bawah tanah itu berembug dengan sang tokoh sosial demokrat. Tan Malaka dan Sjahrir secara ideologis berseberangan; seperti halnya tiap Marxis-Leninis, Tan Malaka menganggap seorang sosial-demokrat sejenis Yudas.

Tapi seperti dituturkan kembali oleh Abu Bakar Lubis —orang yang menyatakan pernah dapat perintah Presiden Soekarno untuk menangkap Tan Malaka—dalam pertemuan di Serang itu Tan Malaka mengajak Sjahrir untuk bersama-sama menyingkirkan Soekarno sebagai pemimpin revolusi. Menurut cerita yang diperoleh A.B. Lubis pula, Sjahrir menjawab: jika Tan Malaka bisa menunjukkan pengaruhnya sebesar 5 persen saja dari pengaruh Soekarno di kalangan rakyat, Sjahrir akan ikut bersekutu.

Ada sikap meremehkan dalam kata-kata Sjahrir itu. Konon ia juga menasihati agar Tan Malaka berkeliling Jawa untuk melihat keadaan lebih dulu sebelum ambil sikap.
Jika benar penuturan A.B. Lubis (saya baca dalam versi Inggris, dalam jurnal Indonesia, April 1992), pertemuan di Serang itu lebih berupa sebuah perselisihan: sang ”radikal” tak cocok dengan sang ”pragmatis”.

Tan Malaka tampaknya hendak menjalankan tesis Trotsky tentang ”revolusi terus-menerus”. Bagi Trotsky, di sebuah negeri seperti Rusia dan Indonesia—yang tak punya kelas borjuasi yang kuat—revolusi sosialis harus berlangsung tanpa jeda. Trotsky tak setuju dengan teori bahwa dalam masyarakat seperti Rusia dan Indonesia revolusi berlangsung dalam dua tahap: pertama, tahap ”borjuis” dan ”demokratis”; kedua, baru setelah itu, ”tahap sosialis”.

Bagi Trotsky, di negeri yang ”setengah-feodal dan setengah-kolonial”, kaum borjuis terlampau lemah untuk menyelesaikan agenda revolusi tahap pertama: membangun demokrasi, mereformasi pemilikan tanah, dan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Maka kaum proletarlah yang harus melaksanakan revolusi itu. Begitu tercapai tujuannya, kelas buruh melanjutkan revolusi tahap kedua, ”tahap sosialis”.

Ini tentu sebuah pandangan yang terlampau radikal—bahkan bagi Rusia pada tahun 1920-an, di suatu masa ketika Lenin terpaksa harus melonggarkan kendali Negara atas kegiatan ekonomi, dan kelas borjuis muncul bersama pertumbuhan yang lebih pesat. Di Indonesia agenda Trotskyis itu bisa seperti garis yang setia kepada gairah 1945. Dilihat dari sini, niat Tan Malaka tak salah: ia, yang melihat dirinya wakil proletariat, harus menggantikan Soekarno, wakil kelas borjuis yang lemah.

Tapi Sjahrir, sang ”pragmatis”, juga benar: pengaruh Tan Malaka di kalangan rakyat tak sebanding dengan pengaruh Bung Karno. Dunia memang alot. Di sini ”pragmatisme” Sjahrir (yang juga seorang Marxis), sebenarnya tak jauh dari tesis Tan Malaka sendiri. Kita ingat tesis pengarang Madilog ini: revolusi lahir karena ”berbagai keadaan”, bukan karena adanya pemimpin dengan ”otak yang luar biasa”.

Tapi haruskah seorang revolusioner hanya mengikuti ”berbagai keadaan” di luar dirinya? György Lukács, pemikir Marxis yang oleh Partai Komunis pernah dianggap menyeleweng itu, membela dirinya dalam sebuah risalah yang dalam versi Jerman disebut Chvostismus und Dialektik, dan baru diterbitkan di Hungaria pada 1996, setelah 70 tahun dipendam.

Dari sana kita tahu, Lukács pada dasarnya dengan setia mengikuti Lenin. Ia mengecam ”chvostismus”. Kata ini pernah dipakai Lenin untuk menunjukkan salahnya mereka yang hanya ”mengekor” keadaan obyektif untuk menggerakkan revolusi. Bagi Lenin dan bagi Lukács, revolusi harus punya komponen subyektif.

Tentu, ada baku pengaruh antara dunia subyektif dan dunia obyektif; ada interaksi antara niat dan kesadaran seorang revolusioner dan ”berbagai keadaan” di luar dirinya. Tapi, kata Lukács, di saat krisis, kesadaran revolusioner itulah yang memberi arah. Penubuhannya adalah Partai Komunis.

Tapi seberapa bebaskah ”kesadaran revolusioner” itu dari wacana yang dibangun Partai itu sendiri? Saktikah Partai Komunis hingga bisa jadi subyek yang tanpa cela, sesosok hero?

Ternyata, sejarah Indonesia menunjukkan PKI juga punya batas. Partai ini harus mengakui kenyataan bahwa ia hidup di tengah ”lautan borjuis kecil”. Agar revolusi menang, ia harus bekerja sama dengan partai yang mewakili ”borjuis kecil” itu. Ia tak akan berangan-angan seperti Tan Malaka yang hendak merebut kepemimpinan Bung Karno. Di bawah Aidit, PKI bahkan akhirnya meletakkan diri di bawah wibawa Presiden itu.

Pada 1965 terbukti strategi ini gagal. PKI begitu besar tapi kehilangan kemandirian dan militansinya. Ia tak melawan pada saat yang menentukan, tatkala militer dan partai ”borjuasi kecil” yang selama ini jadi sekutunya menghantamnya. PKI terbawa patuh mengikuti jalan Bung Karno, sang Pemimpin Besar Revolusi, yang mementingkan persatuan nasional.

Terkurung di bawah wacana ”persatuan nasional”, agenda radikal tersisih dan sunyi. Terutama dari sebuah Partai yang mewakili sebuah minoritas—yakni proletariat di sebuah negeri yang tak punya mayoritas kaum buruh. Tan Malaka sendiri mencoba mengelakkan ketersisihan itu dengan tak hendak mengikuti garis Moskow, ketika pada 1922 ia menganjurkan perlunya Partai Komunis menerima kaum ”Pan-Islamis”—yang bagi kaum komunis adalah bagian dari ”borjuasi”—guna mengalahkan imperialisme.

Tapi ia juga akhirnya sendirian. Sang radikal, yang ingin mengubah dunia tanpa jeda tanpa kompromi, bergerak antara tampak dan tidak. Ia muncul menghilang bagaikan titisan dewa. Sejak Agustus 1945, Tan Malaka adalah makhluk legenda.

Sebuah legenda memang memikat. Tapi dalam pembebasan mereka yang terhina dan lapar, sang pahlawan sebaiknya mati. Revolusi tak pernah sama dengan dongeng yang sempurna.


Jakarta, 7 Agustus 2008.
Goenawan Mohamad
TEMPO, 25/XXXVII 11 Agustus 2008

Selengkapnya...

Sebuah Monolog : S A R I M I N



1.
Tampak panggung pertunjukan, mengingatkan pada pentas kampung…
Para pemusik muncul, nyante, seakan-akan mereka hendak melakukan persiapan. Ada yang mumcul masih membawa minuman. Ngobrol dengan sesama pemusik. Kemudian mengecek peralatan musik. Mencoba menabuhnya. Suasana seperti persiapan pentas. Tak terlihat batas awal pertunjukan.

Sesekali pemusik menyampaikan pengumunan soal-soal yang sepele: Memanggil penonton yang ditunggu saudaranya di luar gedung, karena anaknya mau melahirkan; menyuruh pemilik kendaraan untuk memindahkan parkir mobilnya, atau mengumumkan bahwa Presiden tidak bisa datang menyaksikan pertunjukan malam ini karena memang tidak diundang; pengumuman-pengumuman yang remeh-remeh dan bergaya jenaka… Atau menyapa penonton yang dikenalnya, bercanda, say hello, sembari sesekali menyetem peralatannya.

Kemudian mereka menyanyikan lagu tetabuhan, yang mengingatkan pada musik topeng monyet. Para pemusik bernyanyi dan berceloteh jenaka. Sementara ruang pertunjukan masih terang. Tertengar lagu tetabuhan yang riang…

Lalu muncullah aktor pemeran monolog ini atau Tukang Cerita. Terlihat jenaka menari-nari mengikuti irama. Hingga musik tetabuhan berhenti, dan Tukang Cerita mulai menyapa penonton dengan penuh semangat bak rocker,
TUKANG CERITA:
Selamat malam semuanya! Yeah!…
Wah, gayanya seperti rocker, tapi nafasnya megap-megap. Rocker tuek…
Senang sekali saya bisa ketemu Saudara semua. Ini kesempatan langka, bertemu dalam peristiwa budaya. Anda mau datang nonton pertunjukan ini saja sudah berarti menghargai peristiwa budaya, ya kan?! Hanya orang-orang yang berbudaya yang mau nonton peristiwa budaya. Jadi, bersyukurlah, kalau malam ini Anda merasa ge-er sebagai orang yang berbudaya. Soalnya, di negeri ini, manusia yang masuk dalam kategori manusia berbudaya itu lumayan tidak banyak. Jadi manusia berbudaya itu agak sama dengan badak bercula. Sama-sama langka.

Nah, salah satu ciri penonton berbudaya itu kalau nonton pertunjukan, selalu mematikan handphone. Ayo sekarang, silakan men-non atifkan-kan HP Anda, sambil berimajinasi seakan-akan Anda itu Presiden yang sedang men-non aktif-kan menteri Anda. Atau kalau selama ini Saudara punya bakat dan naluri membunuh, silakan diekspresikan bakat membunuh Saudara dengan cara membunuh handphone masing-masing.
Nanti, selama pertunjukan, juga dilarang memotret pakai lampu kilat. Nanti ndak jantung saya kaget. Di dalam gedung ini juga dilarang makan, minum atau merokok…. kecuali pemainnya.
Malam ini, saya akan bercerita tentang Sarimin. Perlu Anda ketahui, nama Sarimin ini bukanlah nama asli. Tapi nama paraban. Nama panggilan. Nama aslinya sendiri sebenarnya cukup keren: Butet Kartaredjasa..1 Mungkin nama ini kurang membawa berkah. Meski pun ada juga lho orang yang memakai nama Butet Kartaredjasa, lah kok nasibnya malah mujur: tersesat jadi Raja Monolog. Atau istilah yang lebih populisnya: pengecer jasa cangkem.
Nah, dia dipanggil Sarimin, karena berprofesi sebagai tukang topeng monyet keliling. Agak aneh juga sebenarnya, kenapa nama Sarimin itu identik dengan topeng menyet. Begitu mendengar nama Sarimin, langsung ingatan kita… tuinggg… melayang ke topeng monyet.
Memang sih ada nama-nama yang identik dengan sesuatu. Yah, misalnya sepertu nama Pleki. Begitu mendengar nama Pleki, kita pasti langsung teringat pada… (sambil menunjuk ke arah pemusik).. anjing kampung. Atau nama Munir, misalnya. Nama munir selalu mengingatkan kita pada aktivis hak asasi yang mendapat berkah diracuni arsenik. Memang kebangeten kok yang ngracun itu, kok ya ndak merasa bersalah… Kita juga kenal Baharudin Lopa, yang identik dengan sosok yang jujur dalam hukum. Nama Gesang… identik dengan Bengawan Solo. Suharto… yang identik selalu mendadak sakit kalau dipanggil pengadilan. Atau Sumanto… Begitu mendengar nama Sumanto, kita langsung teringat…
Celetukan pemusik: “Kanibalisme…”
TUKANG CERITA:
Itu terlalu keren… Bukan kanibalisme, tapi ciak kempol! Atau yang sekarang lagi popular: Bondan Winarno… Begitu mendengar nama Bondan Winarno, langung ingat wisata kuliner… mak yuss…
Musik memberi tekanan dan membangun suasana…
TUKANG CERITA:
Sebagai tukang topeng monyet keliling, Sarimin lumanyan konsisten menekuni kariernya. Lebih kurang 47 tahun dia jadi tukang topeng monyet. Sekarang dia sudah berumur 54 tahun. Jadi kalau dihitung-hitung, dia sudah menjadi tukang topeng monyet sejak umur 7 tahun. Ini profesi yang diwarisi Sarimin dari Bapaknya yang sudah almarhum.
Mungkin Saudara pernah bertemu Sarimin. Atau pernah melihat Sarimin melintas di jalanan yang macet. Kemacetan yang sepertinya sengaja diselenggarakan oleh Gubernurnya.
Atau mungkin suatu hari Anda pernah secara sengaja berpapasan dengan Sarimin. Mungkin malah Anda sempat ngobrol sebentar berbasa-basi denganya… Tapi Anda tak lagi mengingatnya. Tampang dan nasib Sarimin memang membuat orang malas mengingatnya. Saking leceknya. Bajunya…
Tukang Cerita itu mengambil baju dari kotak pikulan topeng monyet yang ada di dekatnya. Dan mulai di sini, pelan-pelan, Tukang Cerita itu mengubah dirinya menjadi tokoh Sarimin. Sambil terus bicara ia mengganti baju Tukang Cerita dengan pakaian Sarimin…
TUKANG CERITA:
Lihat saja bajunya… Setahun sekali kena sabun saja sudah lumayan… (Kepada para pemusik) Coba cium…, baunya… hmmm, mak brengg… Belum lagi celananya…Coba lihat… (sambil memakai celana itu). Selalu cingkrang…. Tapi ini cingkrang yang tidak menakutkan lho ya… Karena meski celananya cingkrang, tidak jenggotan.. Tidak suka merusak kafe-kafe atau tempat hiburan malam…
Sembari terus berubah menjadi Sarimin, menempelkan bermacam “asesoris” penyakit kulit di tubuhnya…
TUKANG CERITA:
Tubuh Sarimin juga full asesoris… Penuh tato emping, alias panu. Dia juga punya bisul yang nggak sembuh-sembuh. Ada kutil di lehernya… Kurap ada. Kadas, kudis, jerawat, koreng, kutu air…. Pokoknya segala macam jenis penyakit kulit tersedia lengkap di badannya.
Dengan segala macam anugerah penyakit yang dimilikinya itu, sudah barang tentu Sarimin bukanlah sosok yang menarik untuk Anda ingat. Sarimin bukanlah orang yang cocok untuk dijadikan monument ingatan. Makanya, saya pun akan maklum, apabila setelah menyaksikan pertunjukan ini Anda pun tetap tak akan mengingat Sarimin… Sekarang ini, yang paling sulit memang mengingat. Karena kita sudah terlalu l ama dididik keadaan untuk gampang lupa!

Musik menghentak, memberi tekanan perubahan suasana dan karakter. Kini aktor itu sudah sepenuhnya berperan menjadi Sarimin. Sementara musik tetabuhan topeng monyet berbunyi, Sarimin mulai mengambil peralatan topeng monyetnya, kemudian mulai berjalan memikul peralatan topeng monyetnya, seolah mulai berjalan keliling menyusuri jalanan… Suasana makin meriah dengan teriakan suitan para pemusik yang mencelotehi tingkah Sarimin…
Sampai kemudin Sarimin mendadak berhenti, memandang ke bawah, ke dekat kakinya. Seperti ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Segera Sarimin memungut sesuatu yang tergeletak di pinggir jalan itu. Sebuah KTP. Sarimin dengan ragu-ragu memungut KTP itu. Memeganginya, memandanginya…

Pada saat inilah, lampu di bagian penonton meredup dan menggelap. Dan cahaya di panggung mulai mengarah pada Sarimin yang memegangi dan mengamati KTP yang ditemukannya itu: bergaya membaca nama di KTP itu, padahal ia tak bisa membaca… Baru kemudian ia menunjukkan KTP yang ditemukannya itu kepada para pemusik…
SARIMIN:
Ini KTP siapa, ya? Ada yang merasa kehilangan KTP tidak? Coba cek dulu mungkin dompet sampeyan jatuh.. Atau kecopetan… Gimana, ada yang merasa kehilangan KTP?
Para pemusik berceloteh menangapi, merasa tak kehilangan dompet atau KTP. Lalu Sarimin mencoba bertanya kepada para penonton…
SARIMIN:
Maaf, Bu… Pak… Ada yang merasa kehilangan KTP ndak ya? Ini tadi saya nemu…. Nanti kalau sampeyan ndak ada KTP kena razia Operasi Justisia lho… Bisa-bisa dianggap penduduk gelap… Ini KTP sampeyan bukan?
Celoteh Pemusik: “Mas, tanyanya yang sopan… yang halus…”
Lalu Sarimin pun bersikap sopan yang dilebih-lebihkan, bertanya pada para penonton sekali lagi,
SARIMIN:
Maaf, Bapak-bapak… Ibu-ibu… Apakah dari pada Bapak Ibu ada yang merasa kehilangan dari pada KTP? Tidak? Bener, dari pada Bapak Ibu ndak ada yang merasa kehilangan KTP?
Seorang Pemusik menyuruh Sarimin untuk membacakan nama di KTP itu, “Kamu kan bisa baca, di situ ada namanya…, nanti kan tahu itu KTP siapa?!”
Sarimin bergaya membaca tulisan di KTP itu, tetapi hanya bibirnya yang komat-kamit…
SARIMIN:
Eee, anu, mata saya ini rada aneh kok… Kalau buat mbaca langsung mendadak rabun… Lha ini, tulisannya mendadak ndak jelas… Gini ajah, gimana kalau sampeyan yang bacain…
Para Pemusik meledek Sarimin: “Allahh.., bilang saja nggak bisa baca. Nggak bisa baca ajah kok nggaya!”
SARIMIN:
Lho, siapa yang nggaya? Siapa yang ndak bisa baca? Mbok jangan menghina begitu. Sukanya kok ya menyepelekan. Jangan meledek orang yang ndak bisa baca… Banyak juga kok orang yang tidak bisa baca tapi ya sukses… Malah ada orang ndak bisa baca tapi jadi pemimpin…
Celoteh Pemusik: “Lho emangnya ada pemimpin yang nggak bisa baca?”
SARIMIN:
Ya ada… Gini saja kok ya ndak tahu…
Celoteh Pemusik: “Coba sebutkan, siapa?”
SARIMIN:
Pokoknya ada… Ndak usah saya sebutkan…
Celoteh Pemusik: “Bilang saja takut…. Hayo, coba sebutkan, siapa?”
Sarimin tampak bingung, terpojok karena terus didesak, mencoba menutupi ketakutannya. Celoteh Pemusik, terus mendesak: “Ayo, coba sebutkan kalau berani…”
SARIMIN:
(Melihat-lihat ke arah penonton, masih ketakutan dan hati-hati) Ada Pasukan Berani Mati yang nonton ndak ya… (Sarimin tampak nggak berani menyebut)… Ya, pokoknya ada!
Celoteh Pemusik, terus mendesak: “Iya, siapa? Sebutkan!”
SARIMIN:
(Berpikir sejenak, lalu menjawab) Prabu Destarata… Itu, pemimpin Hastina! Dia kan tidak bisa baca… Kalian mau memancing saya kan, biar saya menjawab Gus Dur… Ya ndak mungkinlah saya berani menyebut Gus Dur… Boleh kan pemain teater juga takut. Nanti kalau ada apa-apa ya kalian paling cuman bisa nyukurin… Bikin slametan begitu saya dipenjara…
Sarimin kembali menimang-nimang dan memandangi KTP itu.

SARIMIN:
Bener, ini bukan KTP sampeyan?… (Bingung menimbang-nimbang KTP itu) Ya, sudah, nanti sekalian saya pulang, saya tak mampir ke Kantor Pulisi… Dari pada repot, kan mendingan KTP ini dititipkan ke Pak Pulisi… Ya ndak? Nanti biar Pak Pulisi yang nganter ke pemiliknya…
Dan Sarimin pun kembali memikul kotak topeng monyetnya. Musik tetabuhan mengiringi perjalanan sarimin. “Sarimin pergi ke Kantor Pulisi…” teriak para pemusik riang bagai pertunjukan topeng monyet.
Tampak Sarimin berjalan menuju kantor pulisi.
Musik terus mengiringi perjalannan Sarimin. Pada saat inilah, aktor juga mulai menata setting untuk perpindahan adegan. Menggeser beberapa dekorasi hingga terjadi pergantian ruang…
2.
Ahhirnya, Sarimin pun sampai di Kantor Pulisi. Ia tampak kelelahan dan capai setelah berjalan jauh. Sarimin memperhatikan Kantor Pulisi itu, tanpak sepi. Tak ada Petugas Jaga. Ia sejenak clingukan, agak ragu memasuki halaman Kantor Pulisi itu. Ia berjalan pelan dan sopan mendekat…
SARIMIN :
Permisi, Pak Pulisi….Asalamualaikum, Pak Pulisi…
Mendadak nongol sosok Pulisi, yang langsung sibuk mengetik begitu mengetahui kedatangan Sarimin. Maka Pulisi itu pun tampak terus sibuk mengetik…


SARIMIN:
Wah…, Pak Pulisinya ternyata lagi sibuk… Sibuk kok ya mendadak ya…
Pulisi itu terus mengetik, mengabaikan Sarimin.
SARIMIN:
Ya sudah…, biar saya tunggu saja…(Lalu menjauhi Pulisi itu, sementara suara mesin ketik terus terdengar, membangun suasana) Yah, lumayan…, sambil nunggu bisa numpang istirahat… (Sembari memijit-mijit kakinya yang terasa pegal-pegal atau sesekali meregangkan badan atau mengeluk pinggangnya) Lagi pula saya juga lagi males keliling… Udah dari pagi keluar masuk kampung, tapi nggak ada yang nanggap. Capek juga kan seharian keliling tapi ndak dapet duit…
Sarimin mengeluarkan sebiji pisang dan mengupasnya. Kemudian terdengar suara monyet, yang nangkring di kotak topeng monyet itu. Monyet itu merajuk minta pisang yang dimakan Sarimin itu…
SARIMIN:
(Bicara pada monyet itu) Apa? Pingin?… Iya, iya…, nanti saya bagi…
Sarimin mengambil monyetnya dengan penuh perhatian, memangku monyet itu…
SARIMIN:
(Sambil mengelus-elus monyetnya, bicara kepada penonton) Oh ya, kalian belum kenal toh sama monyet saya ini… Lah ya ini yang namanya Sarimin… Kalau saya dipanggil Sarimin ya cuman karna kena efeknya saja… Itu disebut The Sarimin Effect…
Monyet saya ini bukan monyet sembarangan lho… Kalau ditelusuri garis keturunannya, dia itu keturunan monyetnya Si Badra Mandrawata…
Para pemusik heran: “Siapa itu?”
SARIMIN:
Si Buta dari Gua Hantu…
Suara monyet itu terdengar senang, seperti meloncat-loncat. Sarimin mulai menyuapi monyet itu dengan pisangnya.

SARIMIN:
Nih, kamu separo…
Tampak pisang yang dibaginya itu lebih kecil. Monyetnya tampak senang. Tetapi, begitu mau menyuapkan pisang itu ke monyetnya, pisang itu malah dimakan Sarimin sendiri. Hingga monyet itu berterak-teriak. Tapi Sarimin terus mengunyah pisang itu buat dirinya sendiri…
Melihat itu, Para Pemusik pun berkomentar: “Was, Mase ini, sama monyetnya sendiri kok pelit! Medit!”… “Sudah persis kayak monyet lho Mase ini kalau makan pisang gitu!”…”Ngirit, ya Mas?”
SARIMIN:
Kalian itu jangan salah faham. Ini bukan ngirit! Saya makan pisang begini ini karna saya lagi nglakoni ngelmu munyuk!
Tahu ngelmu munyuk, ndak? Ngelmu munyuk itu ya ilmu kebajikan yang bersumber dari munyuk. Ada kitabnya! Namanya Kitab Bantur Jambul Tangkur Munyuk.
Sarimin segera mengambil sebuah buku tua dari kotak topeng monyetnya…
SARIMIN:
Nah ini kitabnya… Ilmu soal permonyetan ada di sini semua. Kenapa manusia disebut keturunan monyet, ada penjelasannya di sini. Juga soal Jaman Monyet… Nih… (membaca halman kitab itu) hamenangi jaman monyet. Sing ora dadi monyet ora keduman. Sak begja-begjane wong sing dadi monyet, isih luwih begja wong sing koyo monyet nanging kuoso…
Seorang Pemusik memotong: “Lho, kok mendadak situ bisa baca? Tadi katanya nggak bisa baca. Nggak konsisten!”
SARIMIN:
Ini aksara Jawa. Honocoroko. Kalau huruf Jawa saya bisa baca…
Gimana, mau tahu soal ngelmu munyuk, ndak?… Lihat nih, halaman 79… (membaca) Living English Structure… Lho, kok malah bahasa Inggris. Maaf, maklum saya belinya di loakan. Ini buku bajakan, jadi halamannya kecampur-campur. Nah, ini… halaman 67… Di sini dijelaskan, kenapa monyet suka pisang… Ini ada filosofinya. Ada maknanya.
Pisang itu buah yang murah. Artinya kita harus pemurah. Mau berbagi. Maksudnya, hidup kita itu seyogyanya ya seperti pohon pisang. Anda tahu kan pohon pisang? Setiap bagian dari pohon pisang itu semuanya berguna. Tangkai daunnya bisa ditekuk-tekut, dibuat mainan kuda-kudaan. Batang pohonnyanya buat nancepin wayang. Antok-nya, jantungnya, bisa dibikin sayur yang enak.
Celoteh Pemusik: “Kalau pelepahnya, Mas?”
SARIMIN:
Pelepahnya? Ya bisa buat mainan plesetan…. Daunnya bisa dipakai buat mbungkus… Atau bisa juga di pakai buat payungan kalau hujan. Bisa buat berteduh….
Berdasarkan ngelmu munyuk ini, pohon pisang sebenarnya mengajarkan kita agar tidak egois. Karena pohon pisang memang bukan pohon yang mementingkan dirinya sendiri. Pohon pisang itu beda dengan… pohon beringin, misalnya. Ini misalnya lho ya… Kalau Pohon beringin itu kan cuman mementingkan dirinya sendiri.
Kalian lihat sendiri kan, pohon beringin itu tumbuh besar, tinggi menjulang, rimbun, tetapi ia menyedot kesuburan pohon-pohon di sekelilingnya…
Celoteh Pemusik: “Ya, tapi kan Pohon Beringin bisa buat berteduh. Kan bayak itu kere-kere yang suka berteduh di bawah Pohon Beringin…”
SARIMIN:
Kalau yang suka berteduh sih bukan cuman kere… Tapi juga keple… lonte…
Makanya, kalau orang yang pinter, pasti ndak mau lagi berteduh di bawah Pohon Beringin. Seperti para Jenderal itu… Kan sekarang banyak Jenderal yang memilih membikin dan membesarkan pohon sendiri… Lebih senang membesarkan Pohon Gelombang Cinta… Seolah-olah mereka merasa masih dicintai rakyat.
Nah, kalau sampai ada Jenderal yang terus ngotot ikut berteduh di bawah Pohon Beringin, pasti agak diragukan kredibilitasnya: ini Jenderal apa lonte…
Membuka-buka halaman kitab itu dengan serius…
SARIMIN:
Makanya kalian mesti belajar ngelmu pisang. Pohon pisang itu selalu membiarkan anak-anaknya tumbuh besar. Sampeyan tahu, pohon pisang itu juga baru mati kalau sudah berbuah. Artinya, hidup kita itu berbuah. Mesti membuahkan kebaikan. Jangan sampai kita mati tapi belum sempat berbuat baik.
Celoteh Pemusik, agak meledek: “Kata siapa…”
SARIMIN:
Lah ya menurut Kitab Bantur Jambul Tangkur Munyuk ini… Kalau kalian baca kitab ini, pasti kalian ngerti ilmu sejati. Ini ilmu tidak main-main. Ilmu filsafat tingkat tinggi. Tidak sembarang orang bisa mempelajari. Otak anak-anak Jurusan Filsafat saja mungkin ndak nyampe kalau mempelajari ini. Frans Magnis Suseno, Mudji Sutrisno, Pak Damardjati Supajar juga ndak level ama ilmu ini. Makanya mesti hati-hati. Karna bisa-bisa nanti kebablasen: begitu mempelajari ilmu sejati ini, langsung ngaku-ngaku jadi Nabi…
Ngelmu munyuk itu ilmu ketauladanan. Mangsud-nya, banyak ketauladanan yang bisa kita pelajari dari monyet. Karena kalau monyet suka pisang, sesungguhnya monyet itu sedang memberi kita tauladan hidup. Makanya, kalau sekarang ini ndak ada tokoh atau pemimpin bangsa yang bisa kita tauladani, kenapa kita ndak meneladani monyet saja? Ya, ndak?
Sementara itu terdengar suara ngorok…
SARIMIN:
Sudah ah, nanti saja lagi saya kasih tahu soal ngelmu munyuk-nya… (Seperti tersadar kalau sudah lama menunggu)… Dari tadi kok ya belum dipanggil-panggil ya….
Suara ngorok itu makin keras terdengar, ternyata datang dari Kantor Pulisi. Tampak ruangan kantor itu sepi, hanya terdengar suara orang tertidur ngorok…
SARIMIN:
Welah, Pulisinya malah ngorok…
Lalu Sarimin menuju meja jaga pulisi itu. Tak tampak pulisi. Hanya terdengar suaranya yang mendengkur keras…
SARIMIN:
Maaf, Pak Pulisi… Saya cuman mau nyerahkan KTP ini kok, Pak… Soalnya saya mesti pulang… Sudah sore….
Mendadak Pulisi itu bangkit, dan langsung sibuk mengetik. Terdengar suara mesik ketik yang langsung sibuk…
(SUARA) POLISI:
(Membentak, sambil terus mengetik) Tunggu saja dulu! Apa tidak liat saya lagi sibuk!
SARIMIN:
I..ya, Pak… Iya… Sibuk kok mendadak…
Pulisi terus terus mengetik, terus sibuk. Sementara Sarimin hanya bisa memandangi dengan tatapan tak berdaya. Merasa marah disepelekan, tetapi tak bisa apa-apa, hanya ngedumel…
SARIMIN:
Ama orang kecil kok ya selalu menyepelekan… Coba kalau ndak pakai seragam, sudah saya plinteng matane…
Sarimin hanya bisa menunggu. Tapi kemudian ia seperti sudah tak bisa menahan untuk kencing…
SARIMIN:
(Kepada penonton) Ee, tolong, nanti kalau Pak Pulisinya nyari, bilang saya kencing dulu ya… Ke toilet bentar.
Sarimin kemudian bergegas hendak ke toilet, tetapi mendadak terdengar bentakan:
(SUARA) POLISI:
Hai! Mau mana?!
SARIMIN:
Mau ke belakang, Pak…
(SUARA) POLISI:
Tunggu saja di situ!… Nanti saya panggil!
Dengan terbungkuk-bungkuk sopan Sarimin akhirnya kembali duduk, tetapi tampak jengkel juga…
SARIMIN:
Gimana sih! Dari tadi cuman nyuruh tungga-tunggu… Mau kencing bentar ajah ndak boleh… Sok kuasa! Sok merasa dibutuhkan! Seneng kalau melihat orang menderita. Begitu kok ngakunya sahabat rakyat…
Sarimin tampak gelisah menahan keinginannya untuk kencing. Pada saat itu terdengar suara monyet yang menjerit-jerit, membuat sarimin gugup dan panik.
SARIMIN:
(Menenangkan monyetnya yang mulai rewel) Sstt! Jangan ribut, toh… Pak Pulisinya kayak buto galak. Nanti kamu dimarahin!
Monyet itu malah bertambah rewel, terus memekik-mekik.
SARIMIN:
(Terus berusaha menenangkan monyetnya) Apa? Haus? Pingin mimi, ya?
Mengambil botol air mineral dari kotak pikulannya, tetapi botol itu ternyata sudah kosong…
SARIMIN:
Wah, habis… Sabar, ya… Ntar minum di rumah saja ya… Cup cup cup… Bentar lagi kita pulang kok…
Tapi monyet itu makin rewel dan ribut…
SARIMIN:
Jadi monyet itu mbok yang sabar… Lama-lama kamu itu ketularan manusia lho! Ndak bisa nahan sabar! Dasar monyet asu!
Monyet itu terus memekik-mekik minta minum. Sarimin bingung. Ia melihat kepada Pulisi yang tampak sudah kembali tertidur bersandar di depan mesin tiknya. Melihat Pulisi yang lelap itu, maka Sarimin pun hati-hati menegendap-endap menuju toilet di bagian belakang…
Tampak silhuet Sarimin yang kencing, dan menadahi air kencingnya dengan botol.
Sarimin kembali muncul dan segera ia mendatangi monyetnya yang masih rewel. Dengan tenang Sarimin meminumkan isi botol itu ke monyetnya…
SARIMIN:
Nih minum… Enak, kan? Dijamin fresh from the batangan. Lagi ndak? Manis, kan? Lah wong saya kecing manis kok… Kalau gini ada untungnya juga lho kena diabet…
Sarimin terus meminumkan isi botol itu pada monyetnya, sampai kemudian monyet itu tampak tenang dan senang…
SARIMIN:
Monyet saya memang rada manja. Kalau sudah kepingin ndak mau ditunda. Paling repot ya kalu pas dia lagi birahi pingin kawin…
Seorang Pemusik nyeletuk bertanya: “Memangnya itu monyet jantan apa betina?”
SARIMIN:
Monyet jantang dong…
Pemusik: “Memangnya gimana sih caranya membedakan monyet jantan dan monyet betina?”
SARIMIN:
(Tampak sebel dengan pertanyaan itu) Ya gampang… Tinggal kamu kawinin. Kalau hamil, berarti monyet itu betina. Gitu saja kok repot! Mas, mbok kalau nanya itu yang cerdas, biar ndak bikin tambah jengkel… Maaf lho ya kalau saya jadi ketus… Kamu kan lihat sendiri, dari tadi saya sebel nunggu, lah kok malah ditanyain yang ndak mutu gitu! Sebel! Sebel! Sebelll!!! Makanya kalian jangan nambahin sebel saya…
Melihat Sarimin marah begitu, para pemusik langsung diam. Suasana jadi tidak enak. Sarimin hanya diam, gelisah, bingung nggak tahu mesti berbuat apa. Sampai kemudian Sarimin mengeluarkan beberapa alat atrasksi topeng monyetnya. Memain-mainkan payung kecil, gerobak kecil, dan lainnya. Mencoba membunuh kegelisahannya. Mencoba menyibukkan diri. Tetapi ia tetap merasa gelisah karena terus menunggu. Lalu ia melihat papan catur di atas kotak peralatannya. Ia mengambil papan catur itu, lalu mengajak para pemusik itu untuk menemaninya main catur…
SARIMIN:
Main catur yuk… Dari pada cuman bengong…
Tapi Para Pemusik tak menanggapi ajakan itu: “Ndak”… “ Mase nesuan, sih!”
Kemudian Sarimin membawa papan catur itu, mencoba mengajak para penonton untuk main catur dengannya,
SARIMIN:
Ayo, main catur yok… Masa segini banyak ndak ada yang pinter main catur? Ada yang jadi penyair, ndak? Biasanya kalau penyair itu pinter main catur… Soalnya job-nya dikit… Jadi banyak waktu luang buat main catur. Ayo, main catur…. Nemenin saya… Mungkin ibu-ibu atau mba-mba… Ayo, Mba…Main catur bareng saya…, dijamin tidak terjadi kehamilan…
Bener nih ndak ada yang mau main catur? Ya sudah kalau ndak mau… Biar saya main sama monyet saya saja…
Lalu Sarimin menata bidak catur itu, berhadap-hadapan dengan monyetnya…
SARIMIN:
Monyet saya ini lumayan cerdas juga kok kalau main catur…. Saya sudah melatihnya main catur sejak dia masih kenyung, masik kecil, masih balibul…
Seorang Pemusik bertanya: “Apa itu balibul?”
SARIMIN:
Bawah lima bulan… Kalau saja saya punya duit, pasti sudah saya sekolahkan di sekolah catur… Biar jadi Grand Master… Ayo, Min, sini, Min…
Kemudian Sarimin pun bermain catur dengan monyetnya. Suara monyet yang riang membuat Sarimin sedikit terhibur. Ia tampak senang bisa bermain catur dengan monyetnya…
SARIMIN:
Ayo cepet jalan…. Kamu duluan… Eh, eh… bentar… kamu putih apa hitam? Ya dah, kamu putih ya… Tapi aku jalan duluan lho ya…
Lalu Sarimin dan monyetnya segera main. Sarimin yang menjalankan bidak catur. Kemudian tampak bidak yang bergerak sendiri, seakan-akan tengah dimainkan oleh monyet itu. Keduanya tampak asyik dan serius.
SARIMIN:
Eeh, lho, kok mentrinya kok kamu makan… Ndak boleh… Monyet dilarang makan mentri… Yang boleh ciak menteri itu cuman mandatarisnya rakyat! Jangan sembrono lho kamu… Ayo ulang… Eh, tapi jangan ngeper gitu dong! Kamu ini kok sukanya ngawur gitu sih!
Sarimin kelihatan jengkel…
SARIMIN:
Curang! Curang kamu! Bubar! Bubar!…
Suara monyet menjerit-jerit sementara Sarimin dengan jengkel menutup papan catur itu dan menaruhnya kembali ke kotak pikulannya. Monyet itu menjerit-jerit marah…
SARIMIN:
Sudah, diam toh! Kok malah kamu yang marah. Mestinya saya jengkel. Sudah malem begini ndak dipanggil-panggil. Ngapain ajah sih tuh Pulisi! (Menengok ke arah Pulisi, yang tampak lelap tertidur) Allaahh, kok ya malah micek!
Sarimin mencoba mendekati Pulisi itu. Begitu sarimin sudah dekat dan hendak menyodorkan KTP, mendadak Pulisi itu bangun dan langsung sibuk mengetik. Suara mesin ketik yang sibuk membuat Sarimin hanya bisa neraik nafas jengkel.
Lalu Sarimin menjahui Pulisi itu. Dan begitu Sarimin sudah jauh, perlahan-lahan Pulisi itu pun kembali tidur, menyandarkan kepelanya ke meja mesin ketik.
Sarimin menengok ke belakang, melihat Pulisi yang kembali tidur. Maka Sarimin pun berbalik kembali mendekati Pulisi itu. Baru saja Sarimin mau mendekat, Pulisi itu langsung jenggirat bangun dan menyibukkan diri dengan mesin ketiknya. Melihat Pulisi itu kembali sibuk mengetik, maka Sarimin kembali merasa jengkel, tak berdaya, dan mencoba kembali menunggu. Dan begitu Sarimin menjauh, tampak Pulisi itu dengan penuh kemenangan tidur kembali…
Begitu seterusnya, setiap kali Sarimin mendekat, langsung saja Pulisi itu langsung bangun sibuk mengetik…
Sampai kemudian Sarimin tampak pasrah menunggu. Ia kini terlihat mengantuk. Menguap. Meregangkan badannya yang pegel karena lama duduk… Sarimin bangkit, hendak mendekati kembali Pulisi itu, tetapi Puisi itu langsung bangun dan membentak:
(SUARA) POLISI:
Tunggu saja di situ!! Nanti saya panggil!!!
Sarimin, yang lelah dan tak tahu mesti berbuat apa, segera kembali duduk menunggu. Ia merebahkan tubuhnya di kursi tunggu itu. Mencoba tidur. Saat itulah sebentang kain perlahan turun, seperti langit malam yang menebarkan kegelapan. Terlihat silhuet Sarimin yang tertidur. Tampak cahaya bulan, malam dengan segala kesedihannya.
Nampak Sarimin yang bangkit, dan dengan setengah mengantuk mendekati Pulisi jaga itu. Tapi kembali Pulisi itu langsung membentak:
(SUARA) POLISI:
Tunggu saja di situ!!
Dengan lunglai Sarimin kembali masuk ke balik tirai, kembali merebahkan tubuhnya. Tampak bayangan Sarimin yang tertidur di bawah redup rembulan.
Kemudian pagi datang, terdengar kokok ayam. Matahari yang cerah bangkit. Sarimin terbangun dari tidurnya, kaget…
SARIMIN:
` Astaga, sudah hari ke 192… Belum dipanggil juga….
Lalu malam kembali datang. Rembulan mengapung kesepian. Sarimin kembali tidur… Musik kesunyian seperti menghantar perubahan hari.
Dan ketika ayam kembali berkokok, matahari muncul, Sarimin pun langsung tergeragap bangun, dan mendapati dirinya masih menunggu…
SARIMIN:
Hari ke 347….
Karena tak juga dipanggil, sarimin pun kembali tidur. Musik yang galau bagai menggambarkan perasaan Sarimin yang gelisah. Cahaya menggelap. 2 Lalu Waktu bagai terus berputar. Di bagian layar belakang, muncul gambaran waktu berabd-abad…
Sementara waktu berubah, Sarimin terus menunggu, memandangi KTP yang entah milik siapa itu…
3.
Mendadak Tukang Cerita muncul dari sisi lain panggung. Pada saat yang bersamaan, silhuet Sarimin pada tirai itu lenyap.3
TUKANG CERITA:
Begitulah, Sarimin dibiarkan menunggu bertahun-tahun…

Sebagai Tukang Cerita saya perlu sedikit mengingatkan, agar Anda jangan terlalu menyalahkan para petugas itu. Jangan sampai Anda punya anggapan: seakan-akan para polisi itu menyepelekan Sarimin.
Sebagai warga negara yang baik dan yang percaya pada integritas dan profesionalitas polisi, kita harus maklum akan banyaknya urusan yang harus diselesaikan para polisi itu. Cobalah sesekali Anda datang ke kantor Polisi. Pasti Anda akan melihat betapa setiap hari polisi-polisi itu selalu tampak sibuk. Sibuk SMS-an… Sibuk ngobrol… Sibuk iseng ngisi TTS… Sibuk menginterogasi penjahat…. Sibuk menangkap bandar narkoba, sekaligus sibuk membagi-bagi barang buktinya…
Apalagi belakangan ini kesibukan Polisi itu makin bertambah… Karena para Polisi itu lumayan repot menahan para koruptor. Asal Anda tahu saja, menangkap koruptor itu pekerjakaan yang paling merepotkan. Karna begitu ada koruptor tertangkap, maka para polisi itu jadi punya kesibukan tambahan: sibuk menyiapkan karpet merah untuk menyambut koruptor itu… Sibuk menyiapkan sel tahanan dengan fasilitas VVIP… Dan yang terpenting: sibuk menegosiasikan pasal-pasal tuntutan yang saling menguntungkan.
Dengan segala macam kesibukan yang bertumpuk-tumpuk seperti itulah, menjadi wajar kalau Sarimin agak sedikit diabaikan.
Tapi untunglah… Untunglah, nasib baik agak sedikit berfihak pada Sarimin. Suatu pagi, ada petugas yang sedang bersih-bersih kantor polisi itu, dan secara tak sengaja melihat Saridin!
Musik tetabuhan transisi mengiringi perubahan Tukang Cerita itu menjadi Polisi. Aktor itu mulai mengenakan kostum untuk peran Polisi.
Dengan iringan musik, Polisi itu menata setting, untuk pergantian adegan. Menata meja kursi, seakan tengah berberes-beres. Musik mengiringi terus mengiringi adegan pergantian ini. Sampai kemudian Polisi itu menarik tirai yang menutupi kursi di mana Sarimin menunggu, seakan-akan ia tengah menarik tirai jendela. Saat tirai itu terangkat, Polisi itu kaget melihat Sarimin di kursi tunggu itu…
POLISI
Astaga! Ini kok ada kere di sini!!

Di kursi itu kini tampak boneka Sarimin, boneka yang secara visual mengingatkan pada sosok Sarimin…
POLISI:
Hai, ngapain kamu di sini?!
SUARA SARIMIN: 4
(Sambil menyodorkan amplop) Aa…nu, Pak.. Mau ngasih ini, Pak Pulisi…
Polisi itu memandang heran pada amplop di tangan Sarimin.
POLISI:
Apa itu? Ooo, kamu mau nyuap saya? Iya?! Oooo, hapa kamu pikir semua Polisi bisa disuap, begitu? (Penuh gaya) Huah ha haha… Maaf ya, Polisi seperti saya pantang menerima suap…. Tidak mungkin. Tidak mungkin… Polisi tidak mungkin mau menerima suap…
Mendadak dengan clingukan Polisi itu tengok kanan kiri melihat-lihat keadaan…
POLISI:
Tapi ya kalau nggak ada yang liat sih ya nggak papa… Berapa tuh isinya?
SUARA SARIMIN:
Ini bukan uang kok , Pak Pulisi… Isinya cuman KTP… Saya mau titip…
POLISI:
(Jengkel) Cuman KTP kok ya dikasihkan saya! Apa kamu nggak ngeliat saya banyak kerjaan… Kok malah ngrepotin mau titip KTP segala!
Dengan ngedumel jengkel Polisi itu akhirnya menerima amplop yang disodorkan Sarimin. Dengan tak terlalu suka Polisi itu memeriksa isi amplop itu. Benar. Isinya KTP. Mula-mula Polisi itu tak terlalu serius membaca KTP itu. Tetapi kemudian tampak tiba-tiba ekspresi Polisi itu langsung kaget. Ia membaca nama di KTP itu dengan teliti.
POLISI:
Astaga! Ini kan KTP Bapak Hakim Agung! Harataya…. Mbelgedes! Kok bisa KTP Bapak Hakim Agung sama kamu? Pasti kamu curi, ya?!
SUARA SARIMIN:
Ti…tidak, Pak Pulisi! Saya nemu di jalan…
POLISI:
Nemu di jalan mana?
SUARA SARIMIN:
Di jalan Taman Lawang, Pak Pulisi…
POLISI:
Edan! Oooo… Ini keterlaluan! Masa KTP Hakim Agung bisa jatuh di Taman Lawang… Tidak mungkin, tidak mungkin! Emangnya Hakim Agung suka keluyuran ke sana! Oooo, apa kamu kira Hakim Agung itu jenis mahasiswa yang nggak bisa bayar…, lalu ninggal KTP! Ooo jelas kamu mau mencemarkan nama baik Hakim Agung!
Ooo ini bener-bener keterlaluan. Tidak bisa dibiarkan! Ayo ikut saya ke kantor!
Musik menghentak, black out. Tembang kecemasan terdengar. Kemudian ketika lampu menerangi panggung, tampak Polisi yang sudah berdiri di dekat meja interogasi, memandang Sarimin yang duduk di kursi, hingga Polisi dan Sarimin berhadap-hadapan.
POLISI:
Nggak usah gemeter begitu! Jawab yang jujur! Nggak usah berbelit-belit! Ngerti?!
Polisi itu (seakan-akan) memasang berkas kertas ke mesin tik di atas meja…
POLISI:
Nama?
SUARA SARIMIN:
Ee… saya biasa dipanggil Sarimin, Pak Pulisi…
POLISI:
(Sambil mengetik) Sa-ri-min… (Lalu kembali menatap tajam Sarimin) Umur?!
SUARA SARIMIN:
Lima puluh empat, Pak Pulisi…
POLISI:
(Sambil mengetik) Li-ma-pu-luh-em-pat… Hmmm… Pekerjaan?!
SUARA SARIMIN:
Tukang topeng monyet keliling, Pak Pulisi…
POLISI:
(Sambil mengetik) Tu-ka-ng… to-pe-ng… mo-nyet… ke-li-li-ng… Sekarang coba kamu jelaskan, bagaimana kamu mencuri KTP ini…
SUARA SARIMIN:
Saya tidak mencuri, Pak Pulisi… Saya nemu KTP itu di jalan…
POLISI:
Saya tanya bagaimana kamu mencuri KTP ini, bukan bagimana kamu nemu KTP ini!
SUARA SARIMIN:
Lho tapi saya memang nemu KTP itu kok… Sumpah! Saya tidak mencuri!
POLISI:
Tidak usah pakai sumpah-sumpahan segala! Saya tahu kok modus operandi orang macam kamu! Pura-pura nemu KTP. Padahal dompetnya kamu copet! Iya tidak?! Pura-pura berbaik hati hendak mengembalikan KTP, padahal minta uang. Mau memeras! Kamu bisa kena pasal…. Sebentar… (mengambil buku KUHP dari sakunya) Hmmm… halaman berapa, ya… Oh ini… Kamu bisa kena pasal 362 dan 368! Pencurian dan pemerasan! Itu berate kamu bisa kena sepuluh tahun! Ngerti!
Sarimin tampak mengangguk-angguk…
POLISI:
Ngerti tidak! Jangan cuman manggut-manggut begitu! Nah, sekali lagi saya tanya baik-baik: kamu nyuri KTP ini kan?
SUARA SARIMIN:
Sumpah, Pak Pulisi… saya nemu di jalan…
Polisi itu mengambil pentungan, memain-mainkannya, memprovosasi Sarimin, sambil terus mencecar,
POLISI:
Nyuri apa nemu?
SUARA SARIMIN:
(Melihat itu Sarimin agak jiper juga) Ne..nemu, Pak Pulisi…
Polisi makin mencecar Sarimin…
POLISI:
Nemu apa nyuri?
SUARA SARIMIN:
Ne…ne..mu…
POLISI:
(Membentak keras, sambil seakan mau menggebug Sarimin) Nemu apa nyuri?!
SUARA SARIMIN:
I..iya.. Pak, Polisi.. Mungkin ada orang lain yang nyuri… Tapi saya cuman nemu kok, Pak Pulisi…
POLISI:
Oooo begitu ya…. Jadi ternyata kamu tidak sendirian. Orang lain yang nyuri. Dan kamu yang pura-pura nemu. Hoo ho hooo…, lumayan cerdik juga kamu, ya! Ho ho ho…kamu ketahuan, nyolong KTP!
Berarti kamu sudah merencanakan semua ini dengan komplotanmu, kan?! Ini kejahatan berkelompok dan terencana. Kamu dan komplotanmu hendak memeras Bapak Hakim Agung, begitu kan? Ooo… Ini namanya kejahatan berkelompok dan terencana!
SUARA SARIMIN:
Sumpah, Pak Pulisi… Saya tidak tahu kalau itu KTP Bapak Hakim Agung…
POLISI:
Mau mungkir, ya! Kamu kan bisa membaca nama di KTP ini…
SUARA SARIMIN:
Sa..ya ti..tidak bisa membaca, Pak Pulisi…
POLISI:
Astaga! OO ho hoho… Kamu bener-bener keterlaluan. Itu namanya menghina pemerintah! Kamu menghina pemerintah! Kamu mau menjelek-jelekkan pemerintah!
Sudah sejak tahun 74 pemerintah memberantas buta huruf! Sudah jelas-jelas pemerintah mengatakan kalau sekarang ini sudah bebas buta huruf! Lho kok kamu berani-beraninya ngaku buta huruf?! Apa kamu mau membuat malu pemerintah?! Mau mengatakan kalau pemerintah bohong, karena masih ada orang yang buta huruf macam kamu! Ooo… kamu bisa kena pasal… (memebuka-buka lagi buku KUHP-nya) Pasal berapa, ya… Kamu maunya kena pasal berapa?! Ooo… ini.., pasal137… Penghinaan pada pemerintah!
SUARA SARIMIN:
Lho, tapi saya memang ndak bisa baca kok, Pak Pulisi…
POLISI:
Sudah, nggak usah berbohong! Saya sudah terlalu sering ngadepin bandit kecil tapi licik macam kamu! Pura-pura kelihatan lugu. Pura-pura bodoh. Pura-pura tidak bisa membaca. Tampangnya sengaja disedih-sedihkan, biar saya kasihan. Biar saya iba, lalu saya bebaskan… (Kepada para pemusik, yang seakan-akan kini adalah juga polisi) Ooo dia kira Polisi macam kita bisa dikibulin… Tukang kibul kok mau dikibulin!
Orang lugu macam kami inilah penjahat yang berbahaya! Karena selalu memakai keluguan sebagai kedok kejahatan…
Kejahatan tetap saja kejahatan. Tidak perduli kamu bisa baca atau tidak.
Polisi itu memperhatikan KTP itu pada Sarimin…
POLISI:
Lihat KTP ini sampai lecek begini, pasti sudah kamu simpan lama ya! Kamu pasti sengaja tidak cepat-cepat mengembalikan! Pasti KTP ini kamu pamerin ke temen-temen copetmu kamu! Pasti statusmu jadi naik di kalangan pencopet karena berhasil mencopet KTP Hakim Agung! Setidaknya kamu ingin dianggap hebat karena punya KTP Hakim Agung! Biar kamu disangka saudaranya Hakim Agung… Iya, kan?!
SUARA SARIMIN:
Tidak, Pak Pulisi… Sumpah… Wong begitu saya nemu KTP itu, saya langsung lapor ke sini kok… Tapi saya malah disuruh nunggu terus…

Mendengar jawaban itu Polisi langsung marah, dan mau memukul…
POLISI:
Kurang ajar! Apa kamu pingin saya gebugin kayak praja IPDN!…
Para Pemusik mencoba menengangan: “Sabar….sabar….”
POLISI:
Hati-hati kalau bicara! Kamu bisa kena pasal penghinaan pada aparat! Menuduh Polisi tidak cepat tanggap!
Kalau kamu memang bener-bener datang melaporkan soal KTP ini, pasti petugas jaga akan langsung menanggapi. Ooo ho ho… tidak mungkin, tidak mungkin polisi menyepelakan rakyat… Karna Polisi itu sahabat masyarakat!
Polisi itu di mana-mana selalu melindungi rakyat! Yah paling-paling ya ada polisi yang kesasar salah nembak rakyat… Tapi itu kan ya hanya insiden… Insiden yang kadang direncanakan….
Polisi kemudian mengambil berkas kertas di meja mesin tik, sambil menatap tajam pada Sarimin yang terdiam…
POLISI:
Sebagai Polisi, sudah barang tentu, saya pun harus melindungi kamu… Ngerti tidak? Makanya, kamu juga mesti pengertian… Ini, lihat (menyodorkan berkas kerast itu ke hadapan wajah Sarimin)…
Kesalahanmu sudah bertumpuk-tumpuk… Kalau berkas ini saya bawa ke pengadilan, kamu bisa dihukum lebih dari 20 tahun penjara… Bahkan mungkin lebih. Karna kamu mesti berhadapan dengan jaksa dan hakim, yang pasti tidak ssuka dengan kamu!
Asal kamu tahu saja, ya! Jaksa-jaksa itu selalu minta bayaran lebih banyak. Juga hakim-hakim. Sulit sekarang menemukan hakim yang baik. Kalau kamu nggak ada duit, pasti dengan enteng hakim itu kan menjebloskanmu ke penjara!
Kamu nggak ingin masuk penjara, kan? Makanya, kamu nurut sama saya saja. Nanti laporannya saya bikin yang baik-baik. Faham maksud saya?!
Tapi ya kamu tahu sendiri, itu perlu biaya. Ooo ho ho ho…. ini bukannya saya mau minta duit lho ya… Tidak! Saya tidak minta! Saya cuman menyarankan….
Para pemusik ikutan membujuk: “Iya, Min… Sudahlah, Min… Selesaikan saja secata adat ketimuran, Min…”
POLISI:
Tapi ya terserah kamu. Sebagai Polisi yang mengerti perasaat rakyat, ya saya hanya bisa membantu semampu saya. Saya ngerti, kamu tidak terlalu punya duit. Makanya cukup 5 juta saja.. Kalau kamu setuju, bekas ini langsung saya kip, dan kamu boleh pulang…
SUARA SARIMIN:
(Terpana tak percaya) Lima juta?… Saya ya tidak punya uang segitu, Pak Pulisi…
Tampak Polisi itu mencoba sabar dan pengertian,
POLISI:
Ya sudah… Karena kamu punya itikad baik, ya bisa dikurangilah. Tiga juta, gimana?
SUARA SARIMIN:
Maaf, Pak Pulisi… Segitu saya juga ndak punya…
POLISI:
Ooo ho ho ho… Ya, ya sudah…, jangan sedih begitu. Saya kan hanya menawarkan. Kalau kamu masih keberatan ya bisa disesuaikan semampu kamulah… Ngerti kamu?
SUARA SARIMIN:
I..i..iya, Pak Pulisi…
POLISI:
Nah, gimana kalau dua juta!
SUARA SARIMIN:
Maaf, Pak Pulisi… Saya ndak punya…
POLISI:
Kalau satu juta ..
SUARA SARIMIN:
Maaf, Pak Pulisi… Saya ndak punya…
POLISI:
Saya diskon lagi, deh Mumpung masih suasana Lebaran, jadi bisa diobral… Gimana kalau lima ratus ribu…
SUARA SARIMIN:
Maaf, Pak Pulisi… Saya bener-bener ndak punya…
POLISI:
Seratus ribu deh…Ya, ya, seratus ribu! Hitung-hitung buat uang rokok. Oke?
SUARA SARIMIN:
Maaf, Pak Pulisi… Segitu juga saya ndak punya…
Kesabaran Polisi itu rupanya sudah sampai pada batasnya, dan ia langsung meledak marah,
POLISI:
Brengsek! Kamu bener-bener melecehkan saya! Dimana saya taruh harga diri saya alau segitu saja masih kamu tolak!
Memang susah kalau urusan sama orang miskin! Cuman dapat kesel Kalau kamu lebih suka ke pengadilan, silakan! Kamu bisa membusuk di penjara 50 tahun!
SUARA SARIMIN:
(Takjub dan heran tetapi juga tak berdaya) Cuman karna nemu KTP saya dihukum 50 tahun?
Polisi itu berdiri, dingin, tegas dan formal:
POLISI:
Hukum tetap hukum, Saudara Sarimin! Atas nama hukum dan undang-undang, Saudara Sarimin ditahan!
Musik menghentak. Dan lampu langsung menggelap seketika…

4.
Mengalun tembang sedih yang menyayat hati…
Lalu di layar bagian belakang perlahan muncul bayangan jeruji sel penjara. Lalu tampak bayangan Sarimin di balik jeruji sel penjara itu. Sarimin tampak termenung, tak berdaya. Tembang kesedihan terus menyayat kesunyian…
SUARA SARIMIN:
Apa salah saya, Gusti?… Apa salah saya…
Lalu mendadak muncul bayangan monyet Sarimin. Seperti muncul dari dalam mimpi Sarimin, seakan-akan itu ada dalam pikiran Sarimin. Terdengar suara monyet yang memekik-mekik…
SARIMIN:
Min? Sarimin… Itu kamu ya, Min? Lapar, Min?… Prihatin dulu, ya, Min…Banyak berdoa ya, Min… Biar saya cepet bebas. Doa monyet miskin dan teraniaya macam kamu kan biasanya didengar Tuhan, Min…
Bayangan monyet itu terus menjerit-jerit. Dalam bayangan itu pula, sesekali Sarimin mencoba mengusap dan menyentuh monyetnya…
Lagu kesedihan, yang juga terkesan agung menggaung, menjadi latar belakang adegan itu…5
Pak Hakim dan Pak Jaksa
Kapan saya akan di sidang
Sudah tiga bulan lamanya
Belum juga ada panggilan
Saya ingin cepat pulang…
5.
Lalu di penghujung lagu itu, musik berubah menghentak, bergaya hip-hop. Pada saat musik hip hop ini berlangsung, setting pun perlahan-lahan berubah. Bayangan Sarimin di balik jeruji penjara lenyap. Sementara di bagian lain panggung, segera tampak ruang tempat Pengacara.
Muncul Pengacara, tampak riang, dengan gaya genit cosmopolitan yang penuh gaya. Pengacara itu langsung menyuruh musik berhenti:

PENGACARA:
Hai, stop! Stop! Bah, kalian ini bener-benar tidak punya rasa keadilan! Ada orang dihukum malah hip-hop hip-hopan begitu! Cem mana pula kalian ini! Tunjukanlah simpati dikit!
Sembari bicara, pengacara itu merapikan diri, mengatur penampilannya. Memakai kalung emas dengan bandul initial namanya yang besar. Merapikan pakaiannya, merapikan gaya rambutnya, menyemprotkan minyak wangi ke tubuhnya… Sehingga tampak kalau ia lebih sibuk dengan dirinya ketimbang dengan apa yang dikatakannya…
PENGACARA:
Kalian itu mestinya prihatin, kenapa di negara hukum begini kok ada orang diperlakuan tidak adil! Ah, emang benar-benar sewenang-wenang Pak Polisi itu. Sebagai pengacara yang punya hati nurani, sudah tentulah aku tak bisa berdiam diri!
Pengacara terus sibuk merapikan diri, sampai kemudian ia seperti tersadar, dan segera bicara kepada penonton:
PENGACARA:
Sebentar…Kalian pasti merasa heran, kenapa pengacara kondang…, pengacara infotaimen macam aku ini, tiba-tiba nongol di lakon beginian.
Seharusnya tadi, Si Tukang Cerita itu, yang memperkenalkan aku lebih dulu. Menjelaskan, apa peran aku dalam lakon ini. Begitulah semestinya…
Tapi kupikir-pikir, kalau si Tukang Cerita itu yang memperkenalkan, nanti diledek-ledeknya pulalah aku ini. Mangkanya, kupikir-pikir lebih baik aku muncul saja langsung. Biar aku sendiri yang memperkenalkan diri.
Dengan penuh gaya menyemprotkan parfum ke lehernya…
PENGACARA:
Nama saya Bensar… Aku yakin kalian sudah tahu, dari mana aku ini. Tapi tak usahlah aku kasih tahu marga aku… Nanti aku kena somasi…
Aku di sini terpanggil karena ingin membela Sarimin. Kasihan kali orang itu. Kemarin aku sudah ketemu dia. Aku langsung jatuh iba. Tergerak hati nuraniku untuk membelanya habis-habisan.
Begitu Abang Bensar datang, Sarimin langsung tenang. Aku sudah jelaskan duduk perkaranya, dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa menyelamatkannya.
Aku bilang pada Sarimin, ”Sarimin, seharusnya kau ini malah merasa beruntung bisa masuk penjara. Susah lho ini masuk penjara… Coba itu kau lihat, banyak kali koruptor yang bermimpi bisa masuk penjara, tapi tak bisa-bisa masuk… makanya kubilang, kau ini benar-benar beruntung. Tidak berbuat salah, tapi masuk penjara. Itu prestasi luar biasa… Makanya Sarimin, tak usahlah kau takut! Ketaktan itu cumian soal pikiran. Kalau pikiranmu takut, maka takutlah kau. Makanya jangan kau berpikir hukum itu menakutkan. Hukum itu menyenangkan. Happy!
Kemudian Pengacara Bensar langsung merapikan bawaannya: tas golf beserta isinya. Ia Tampak riang bernyanyi-nyanyi gaya hip hop:
Happy happy
Hukum itu happy
Hukum itu menyenangkan
Hukum menguntungkan
Karna dengan hukum
Semua kesalahan
Bisa dinegosiasikan…
Hapy happy…
Hukum itu happy…
Sambil terus bernyanyi pengacara itu bergerak sambil mengubah setting panggung. Tampak kemudian sel penjara, di mana seakan-akan Pengacara itu berjalan dari rumah menuju ke sel penjara, tempat Sarimin di tahan. Dan Pengacara itu pun sampai di dekat sel Sarimin…
PENGACARA:
(Masih terus menyanyi) Happy happy…. Semua bisa Happy…
Sampai kemudian nyanyian berhenti. Dengan gayanya yang khas, Pengacara Bensar kembali menyemprotkan minyak wangi ke tubuhnya…
PENGACARA:
Bagimana Sarimin, apakah kamu merasa happy hari ini? Tenanglah, ini Abang Bensar sudah datang. Abang akan negosiasikan semua perkara kau.
Mengerti kau negosiasi?! Ah, sudahlah, tak usah kau berpikir yang berat-berat. Biar aku yang pikir saja gimana baiknya. Percayalah sama Abang…
Apa sih perkara yang tidak bisa abang selesaikan? Artis yang mau cerai…, begitu Abang tangani, dijamin langsung cerai. Terdakwa ilegal logging…, begitu Abang tangani, dijamin bisa langsung bebas kabur ke luar negeri…
Makanya, kau tenang saja di situ… Biar aku urus sebentar sama Pak Polisi. Biar lancar semuanya…
Lalu Pengacara berjalan ke arah belakang, seakan mendekati Polisi yang ada di belakang. Dan Pengacara bensar pun berbicara dengan Polisi, yang tampak bayangannya, berupa wayang…

PENGACARA:
Ah, Apa kabar, Pak… Wah, tambah ganteng saja nih… Mungkin Bapak bisa tolong belikan makan atau minum buat klien saya… Nanti kembaliannya buat Bapak….

(SUARA ) WAYANG POLISI:
Maaf, dilarang membawa makanan dalam penjara!
PENGACARA:
Ah, aneh kali ini Pak Polisi… Kenapa makanan dak boleh masuk penjara? Narkoba saja bisa dibawa masuk ke penjara. Kimbek kali! Ingatlah Pak Polisi…, klien aku itu masih berstatus tersangka. Masih tahanan sementara. Jadi mesti kau hargai hak-hak pidananya.
(SUARA ) WAYANG POLISI:
Semua ada tata tertibnya. Ada peraturannya. Ada etikanya! Sebagai Pengacara, Saudara mestinya tahu itu!
PENGACARA:
Betul-betul aneh ini Polisi! Baru kali ini ada polisi mengajak bertengkar pengacara. Biasanya polisi macam kalian itu kan bertengkarnya sama tentara…
Tampak Pengacara Bensar kesal, dan segera meninggalkan Polisi itu. Ia segera kembali ke dekat sel penjara Sarimin.
PENGACARA:
(Kepada Sarimin) Biarlan nanti aku atur sama komandannya. Polisi emang suka berlagak begitu. Suka akting. Lagaknya kayak Politron… Polisi Sinetron…
Sekarang kau dengar… Biar semua gampang dan cepet beres, aku sarankan agar kau akui saja semuanya. Ini akan jadi kredit point yang bagus, karna kamu akomodatif. Artinya kamu dianggap bersikap baik Kalau kau bersikap baik, pasti nanti hakim akan member kau keringanan hukuman. Jadi, yang penting sekarang ini kau harus mengaku salah…
SUARA SARIMIN:
Mengaku salah bagaimana? Memangnya saya salah apa?
PENGACARA:
Aduuh! Kan tadi aku sudah bilang, tak perlulah kau membantah. Apa kau pikir kalau kau melawan kau akan menang. Jangankan orang kecil macam kau, majalah Time yang besar saja bisa divonis kalah kok! Makanya aku bilang, peluang terbaikmu adalah mengaku salah!
SUARA SARIMIN:
Iya… tapi salah saya apa?
PENGACARA:
Salah kau ya karna kau tidak mengerti kau berbuat salah! Bodoh betul kau ini ya… Kau pikir kau berbuat benar. Padahal kau berbuat salah. Kebenaran itu kadang menyesatkan, Sarimin. Kau bukannya benar, tetapi hanya merasa benar. Orang yang merasa benar itu belum tentu benar. Makanya ketika kau merasa benar, kau justru bisa bersalah. Karna benar, maka kamu salah!
Kau harus fahami betul itu. Makanya aku membantu kau, agar kau tidak tersesat di jalan yang kamu anggap benar itu! Kau mestinya beruntung aku mau jadi pembela kau.
Mendadak terdengar suara bunyi handphone, dengan nada dering yang norak… Pengecara Bensar dengan penuh gaya langsung mengambil handphone dari sakunya,
PENGACARA:
(Bicara di handphone-nya) Hallo sayang…Abang lagi sibuk nih. Lagi ketemu klien.. Sudahlah, kamu chek in dulu lah. Nanti Abang susul, ya…
Lalu mematikan handphone-nya, dan masih dengan penuh gaya bicara kembali pada Sarimin di balik selnya…
PENGACARA:
Maaf, bukannya gaya… Tapi ada klien lain yang mesti aku urus. Yah, maklumlah pengacara laris. Sudah pastilah orang miskin macam kau tak mampu membayar aku. Makanya kau mesti bersyukur, aku mau membela kau!
Aku tahu, banyak suara-suara miring di luar sana. Menganggap akupengacara mata duitan. Malah oleh kolega-koleganya saya sering distilahkan dengan pengacara begundal. Taik kucinglah semua! Pukima!
Sekarang aku mau buktikan, kalau aku juga punya perasaan keadilan. Aku juga mau membela orang lemah macam kau, Sarimin! Aku akan berjuang habis-habisan buat kau! Kalau perlu, nanti akan aku bentuk TPS… Tim Pembela Sarimin!
Memperlihatkan koran pada Sarimin…
PENGACARA:
Kau lihat ini… Kamu jadi berita di koran-koran., karna kau dianggap korban ketidakadilan..
Terlihat koran dengan berita Sarimin yang jadi headline itu kepada para pemusik. Pada saat bersamaan para pemusik segera bernyanyi, menghentak, dengan gaya hip hop yang rampak:
Sarimin jadi berita
Di koran-koran mendadak ia
Jadi ternama
Simbol korban ketidakadilan
Seolah-olah hukum adalah
Alat menindas orang yang lemah…
Seolah-olah tak ada lagi
keadilan di negri ini

Brengsek! Brengsek!
Hukum kita brengsek
Brengsek! Brengsek!
Semua orang bilang
Hukum kita brengsek!
Nyanyian berhenti. Pengacara itu kaget.
PENGACARA:
Apa kau bilang? Hukum kita kita brengsek?? Tidak betul itu! Hukum di negeri ini tidak brengsek… tapi luar biasa brengsek!
Kembali mendekati dan bicara pada Sarimin…
PENGACARA:
Tapi kita tak bolehlah putus asa… Aku yakin aku masih bisa membantumu, Sarimin. Aku jamin, kamu akan mendapat bagian keadilan. Memang kau tak akan menang. Tapi kau akan bangga, karena namamu akan dikenang. Kau akan jadi simbol dari perjuangan menegakkan keadilan. Ini peluang bagus buat kamu, Min… Artinya kalau kau nanti mati, kau tidak akan mati sia-sia!
SUARA SARIMIN:
Saya sudah tua… mati juga tidak apa-apa…
PENGACARA:
Eee, janganlah kau mati begitu saja. Nanti sia-sia aku membela kau!
Dengar ya, Min… Syarat untuk jadi simbol perjuangan, kau harus mati secara dramatis. Pejuang terkadang dikenang bukan karna apa yang telah dilakukannya, tetapi pada bagaimana cara matinya. Semangkin dramatis kematiannya, semangkin hebatlah dia…
Nah, makanya, nati biar aku aturlah sama Polisi itu, bagaimana baiknya cara kau mati. Aku sih kau mati dengan cara yang heroik. Mungkin diracun arsenik. Tapi aku kira itu bukan cara mati yang kreatif. Mesti lebih dramtis dikitlah. Mungkin kau disiksa lebih dulu. Di cabut sati persatu jari kau, lalu dicongkel mata kau… wah, itu kematian yang dramatis, Min! Gimana? Kamu mau kan?
Kalau kau mati dengan cara seperti itu, maka kematian kau itu akan dikenang sebagai korban kekejaman hukum. Namamu akan dijadikan monumen abadi… Itu berarti kau untung, dan aku pun untung. Itu primsip keadilan dalam hukum, Min! Kau untung jadi simbol ketidakadilan, aku pun untung karena jadi pembela korban ketidakadilan…
Pengacara itu nampak begitiu bahagia, memeluk tas golf-nya, mengambil kaca rias dan mengamati wajahnya, merapikan sisiran rambutnya, bahkan ia memupur pipinya dan mengoleskan lips gloss pada bibirnya, sambil terus berbicara…
PENGACARA:
Bayangkan, Min… Aku akan bisa mensejajarkan namaku di barisan para pejuang hukum. Pejuang keadilan! Ini peluang baik buat karier kepengacaraanku. Siapa tahu nanti aku bisa dapat Yap Tiap Him Award…
Makanya, Min, kau harus mengaku salah! Itu namanya kamu dapat karunia kesalahan! Kamu telah dipilih oleh Tuhan untuk menjadi orang yang salah…
SUARA SARIMIN:
(Begitu memelas) Saya ndak ngerti… Omongan sampeyan malah bikin saya bingung…
PENGACARA:
Jangankan kamu, saya sendiri kadang bingung dengan omongan saya kok… Maklumlah, Min, omongan pengacara…
SUARA SARIMIN:
Saya berbuat baik, kok malah disuruh ngaku salah… Menurut Kitab Bantur Jambul Tangkur Munyuk, berbuat baik itu ndak salah kok…
PENGACARA:
Eee, jangan ngacau kau. Bertahun-tahun aku belajar hukum, tidak ada itu…apa kau bilang tadi? Apa? Kitab Bantur Jambul Tangkur Munyuk… Ahh, tidak ada itu kitab hukum macam itu! Ngaco kali kau!
Sudahlah! Kau ngaku salah apa susahnya sih! Bagaimana mungkin aku bisa membela kau kalau kau tidak bersalah.
Lagi pula Pak Polisi itu sudah bilang kau bersalah. Bagaimana mungkin kau masih saja merasa tidak bersalah, kalau Polisi sudang bilang kau bersalah.
SUARA SARIMIN:
Jadi saya harus ngaku salah?
Mendadak terdengar suara bentakan Polisi, bersama menculnya bayangan wayang Polisi…
SUARA POLISI:
Sudah ngaku saja salah. Sudah dibela masih saja ngeyel tak bersalah! PENGACARA:
Tuh, dengar apa kata Pak Polisi… Aku mau membela kau kalau kau mau ngaku bersalah, Min! Pengacara macam aku ini sudah terbiasa membela orang yang salah, nanti aku malah bingung kalau membela orang tidak bersalah. Makanya, kamu mengaku salah saja ya, Min…
Terdengar suara wayang Polisi, membentak Sarimin,
SUARA POLISI:
Kalau kamu ngaku salah, nanti saya atur sama Mas Pengacara…
PENGACARA:
Orang salah ngaku salah itu sudah biasa. orang yang bener tapi mau ngaku salah, itu baru mulia! Makanya kalau kau ngaku salah, kau akan jadi orang mulia!
Kembali suara wayang Polisi, membentak Sarimin,
SUARA POLISI:
Kamu tak punya pilihan, Sarimin! Kamu tidak bisa melawan hukum! Hukum telah menganggapmu bersalah!.. Bersalah!… Bersalah! Bersalah!…
Suara Polisi yang meninggi itu kemudian menjadi gema: “Bersalah! Bersalah! Bersalah!” Makin lama gema suara itu makin membahana, seperti mengepung dan mengurung Sarimin…
Bersamaan dengan itu, lampu perlahan-lahan meredup, menggelap. Hingga yang terdengar hanya gema suara Polisi dan Pengacara yang saling bersahut-sahutan, berulang-ulang, saling tumpuk, dan terus mengepung menggema:
GEMA SUARA PENGACARA:
Kau mesti beruntung karena menjadi orang yang terhukum, Sarimin!
GEMA SUARA POLISI:
Kamu telah menghina Bapak Hakim Agung!
GEMA SUARA PENGACARA:
Kamu telah dipilih Tuhan untuk menjadi orang yang bersalah!
GEMA SUARA POLISI:
Kamu berbahaya karena bersikeras merasa benar!
Bersamaan dengan gema suara-suara itu, di bagian belakang layar muncul bayangan-bayangan yang berlesetan. Bayang-bayang wayang Polisi dan Pengacara, bayang-bayang yang bertumpuk-tumpuk, berkelebatan, kadang bayang-bayang itu membesar dan seakan siap menerkam, bersamaan dengan gema suara yang tumpang tindih dan berulang-ulang:
GEMA SUARA PENGACARA:
Kau harus merasa beruntung karena kau menjadi orang yang terhukum!
GEMA SUARA POLISI:
Kamu telah menghina Bapak Hakim Agung!
GEMA SUARA PENGACARA:
Kamu telah dipilih Tuhan untuk menjadi orang yang bersalah!
GEMA SUARA POLISI:
Kamu berbahaya karena bersikeras merasa benar!
Di antara gema suara yang terus bersahut-sahutan itu terdengar rintihan Sarimin…
SARIMIN:
Ampun… Ampun…
Lalu suara-suara yang bergema itu perlahan menghilang. Ada kesunyian yang membentang. Lalu cahaya yang pucat dan layu bagai membelah kepedihan. Cahya itu menyorot ke Sarimin, yang tampak tak berdaya di balik jeruji sel penjara. Kesunyian yang menekan tampak bagai jaring yang meringkus Sarimin.
Pada layar di bagian belakang, muncul bayangan yang samar, simbolis, semacam Dewi Keadilan, sosok yang menggambarkan kehadiran Hakim Agung…
SARIMIN:
Maafkan saya, Bapak Hakim Agung…
Terdengar sosok Hakim Agung di bayangan layar itu berbicara pada Sarimin. Suara dingin dan datar:
SUARA HAKIM AGUNG:
Kalau saja saya bisa memaafkanmu, Sarimin…
SARIMIN:
Maafkan saya…
SUARA HAKIM AGUNG:
Tapi hukum tidak bisa ditegakkan dengan maaf, Sarimin..
SARIMIN:
(Menghiba) Maafkan saya…
SUARA HAKIM AGUNG:
Kamu jangan salah faham, Sarimin… Bukan saya yang menghukum kamu. Hukumlah yang menghukummu…
SARIMIN:
(Makin menghiba) Ampuni saya…
SUARA HAKIM AGUNG:
Hukum punya jalan keadilan sendiri, Sarimin.
Makin lama Sarimin makin menghiba dan mulai merangkak-rangkak, bersujud di bawak sel penjara…
SARIMIN:
(Makin menghiba tak berdaya) Ampuni saya…
SUARA HAKIM AGUNG:
Tak ada gunanya kamu merasa benar kalau hukum mengganggpmu tidak benar…
SARIMIN:
Maafkan saya… Maafkan saya… Maafkan saya…
SUARA HAKIM AGUNG:
Biarlah hukum yang menentukan, Min… Bukan saya…
Di bagian layar itu pula, muncul bayangan monyet, yang menjerit-jerit, muncul di sela-sela gema suara Hakim Agung
SUARA HAKIM AGUNG:
Bukan kamu… Hanya hukum yang benar…
Kembali terdengar suara monyet memekik-mekik…
SUARA HAKIM AGUNG:
Bukan saya… Bukan kamu…
Sementara Sarimin terus menghiba memohon ampunan…
SARIMIN:
Maafkan saya… Maafkan saya… Maafkan saya… Maafkan saya…
SUARA HAKIM AGUNG:
Ini Negara hukum…. (Terdengar suara monyet)… Ini Negara hukum…. (Terdengar suara monyet)… Ini Negara hukum… (Terdengar suara monyet)…
Suara Hakim Agung terus terdengar bertumpang tindih dengan suara pekikan monyet, sementara Sarimin terus merangkak-angkak, bersujud…
Sampai kemudian Sariin merasa aneh dengan gema suara Hakim Agung dan suara monyet yang bagai mengepung menerornya itu. Sarimin jadi termangu, memandang bingung ke luar penjara saat gema semua suara itu melenyap. Segalanya bagai di ruang hampa…
SARIMIN:
Aneh… Tadi itu suara Hakim Agung atau suara monyet ya?!

Gelap menyergap seketika. Black out!!
SELESAI.
Yogyakarta, 2007

Catatan-catatan tekhnis:
1 Nama ini boleh diganti, dengan nama penonton yang hadir. Penonton yang dikenal sebagai public figure, yang familiar dengan audience.
2 Di sinilah, secara tekhnis, aktor pembantu mulai menempatkan diri di balik tirai. Sementara aktor utama, pelakon monolog ini, bisa mempersiapkan diri mengganti kostum untuk adegan berikutnya.
3 Ini menjadi semacam trick pemanggungan: hingga muncul kejutan, seperti sulap, seakan aktor itu bisa berubah dalam sekejap. Padahal, yang di balik layar tadi adalah pemeran pengganti (yang secara postur dan bentuk tubuh, sama dengan aktor pemeran monolog ini)
4 Pada saat dan selama dialog Sarimin, boneka itu ‘bergerak’ mengikuti dialog. Secara tehknis yang menggerakkan boneka itu bisa crew artistik atau yang membantu. Tapi akan lebih bagus bila yang menggerakkan boneka itu justru aktor pemeran monolog ini sendiri. Di sini, secara tekhnis suara Sarimin juga bisa disuarakan oleh aktor monolog ini secara langsung dengan intoneasi dan karakter suara yang berbeda.

5 Di sini dipilih lagu dangdut “Tembok Derita”. Lagu ini dibawakan dengan gaya agung, bergaya Gregorian, hingga muncul semacam parody dari lagu dangdut itu, sekaligus menjadi gambaran suasana yang anomaly.



Selengkapnya...

Pengikut