Selasa, 17 Maret 2009

Wanabuana Training


Diklatsar VII TIRTA PAKSA

Setelah selama 2 tahun mengalami kevakuman akhirnya pada tanggal 21 s/d 27 Desember 2007 Wanabuana kembali bisa menggeliat. Diklat dengan sandi "TIRTA PAKSA" diikuti oleh 11 orang peserta dan sudah menjadi tradisi setiap diklat diawali dan diakhiri dengan long march.

Perjalanan dimulai jam 13.00 WIB, menempuh jarak sekitar 30 km ditempuh dalam waktu 10 jam, karena medan yang ditempuh hutan yang masih lebat dan melewati banyak tebing yang curam. Dari 11 peserta dinyatakan gagal 1 orang pada hari pertama karena kondisi fisik yang semakin lemah dan menjalani perawatan tim emergency Wanabuana.

Waktu pelatihan selama 7 hari akhirnya hanya meluluskan 4 orang, satu persatu peserta mengundurkan diri atau dipecat dari pelatihan karena dianggap melanggar peraturan. Hari ke 6 peserta yang tersisa harus menjalani long march yang berat, menempuh jarak 70 km (dari lokasi pelatihan menuju Solo).

Foto Diklarsar VII

berdo"a sebelum berangkat

di atas truk, ngeceng dulu bozz...

hari ke 2 siswa amburadul


bersama tim pelatih

Komandan Latihan


brieffing hari 2






olah raga sebelum sarapan

upacara pemecatan siswa

brieffing hari 3

bersambung Selengkapnya...

Rabu, 04 Maret 2009

TULANG PUNGGUNG REVOLUSI

KADER : TULANG PUNGGUNG REVOLUSI (September 1962)

Artikel ini dimuat dalam Jurnal bulanan Cuba Socialista (edisi September 1962)
Teks terjemahan diambil dari situs indo-marxist.net

Tak perlu lagi untuk meragukan watak khas revolusi kita,tentang hal-ikhwalnya, dengan semangat spontanitasnya, yakni transisi yang berlangsung dari revolusi pembebasan nasional menuju revolusi sosialisme. Dan tak perlu pula meragukan peningkatan pesat dari tahap-tahap perkembangannya, yang dipimpin oleh orang-orang yang sama yang ikut serta dalam peristiwa heroik penyerangan garnisun Moncada, berlanjut melalui pendaratan Granma, dan memuncak pada deklarasi watak sosialis dari revolusi Kuba. Para simpatisan baru, kader-kader, dan organisasi-organisasi membentuk sebuah strukfur organisasional yang pada awal gerakan masih lemah, sampai kemudian berubah menjadi luapan rakyat yang akhirnya mencirikan revolusi kita.

Ketika kemudian menjadi nyata bahwa suatu kelas sosial baru secara tegas mengambil alih kepemimpinan di Kuba, kita juga menyaksikan keterbatasan yang besar dalam menggunakan kekuasaan negara karena adanya kondisi-kondisi yang kita temukan di dalam tubuh negara. Tidak ada kader untuk melaksanakan sejumlah besar pekerjaan yang harus diisi dalam aparat negara, dalam organisasi-oganisasi politik, dan seluruh front ekonomi.

Segera setelah kekuasaan berhasil direbut, pos-pos birokratik hanya diisi dengan cara 'asal tunjuk' saja. Tidak menimbulkan masalah yang besar--tidak satupun karena struktur lama belum dihancurkan. Aparat berfungsi lamban dan tertatih tatih seperti sesuatu yang tua dan hampir mati. Tapi ia memiliki organisasi dan di dalam organisasi yang- memadai untuk mempertahankan dirinya melalui kelembaman, melecehkan perubahan-perubahan politik sebagai awal bagi perubahan struktur ekonomi.
Gerakan 26 Juli yang masih disibukkan oleh pertarungan internal sayap kanan dan sayap kiri, tidak bisa mencurahkan dirinya untuk tugas-tugas pembangunan. Dan Partai Sosialis popular yang karena terlampau lama mengalami serangan-serangan keji dan bergerak di bawah tanah selama bertahun-tahun, tidak mampu mengembangkan kader-kader menengah untuk menangani tanggung jawab baru.

Ketika campur tangan negara yang pertama kali dalam ekonomi berlangsung (1), tugas-tugas menemukan kader tidaklah terlalu rumit, dan memungkinkan untuk memilih diantara rakyat yang telah memiliki basis minimum untuk menjalankan posisi-posisi kepemimpinan. Tetapi dengan percepatan proses yang dimulai dengan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Amerika dan kemudian disusul dengan perusahan-perusahaan besar Kuba, kebutuhan nyata untuk teknisi-keknisi administrasi mulai muncul. Di sisi lain, kebutuhan akan teknisi-teknisi produksi dirasakan semakin mendesak. krena larinya banyak teknisi yang tertarik oleh posisi-posisi yang lebih baik yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaaan imperialis di AS atau di negeri Amerika Latin lainnya. Sementara sibuk dengan tugas-tugas organisasional ini, aparat-aparat politik harus melakukan upaya yang gigih untuk memperhatikan masalah ideologi kepada massa yang bergabung dalam revolusi dan berhasrat besar untuk belajar.

Kita semua telah berusaha menjalankan peran sebaik mungkin, tapi bukannya tanpa ada masalah dan kekecewaan. Banyak kekeliruan yang dilakukan dalam bidang administratif di tingkat eksekutif pusat. Banyak kesalahan telah dibuat oleh para administratur baru di perusahaan-perusahaan yang sarat dengan tanggung jawab besar. Kita juga mengakui adanya-kekeliruan besar dan mahal yang dilakukan oleh aparat-aparat politk, yang sedikit demi sedikit merosot menjadi birokrasi yang melenakan.dan menghanyutkan, yang dijadikan sebagai batu loncatan untuk pos-pos birokratik yang penting atau kurang penting yang pada akhirnya memisahkan mereka dari massa.
Penyebab utama dari kekeliruan-kekeliruan kita adalah kurang memahami kenyataan yang ada. Selain itu, kita kekurangan perangkat, yang menumpulkan pandangan kita dan membelokkanpartai menjadi sebuah organisasi birokratik, yang membahayakan administrasi dan produksi, kita kekurangan kader-kader maju pada tingkat menengah. Ini merupakan bukti bahwa pengembangan kader sama artinya dengan kebijakan turun ke massa. Semboyannya adalah sekali lagi untuk menegakkan kontak dengan massa, kontak yang dipelihara terus oleh revolusi pada masa-masa awalnya.tapi ini harus ditegakkan melalui mekanisme yang mampu memberikan hasil-hasil yang paling menguntungkan baik bagi kepentingan sentimen massa maupun dalam penyampaian kepemimpinanpolitik, yang di banyak kasus hanya diberikan melalui campur tangan PM Fidel Castro atau beberapa pimpinan revolusi lainnya.

Pada titik ini kita dapat mengajukan pertanyaan : apakah itu kader ? kita harusmenyatakan bahwa seorang kader adalah seorang individu yang telah mencapai perkembangan politik yang cukup mampu menafsirkan petunjuk-petunjuk yang lebih besar berasal dari kekuasaan pusat menjadikanya sebagai miliknyadan memegangnya sebagai suatu orientasi ke massa ; seseorang yang pada saat yang sama harus juga mampu menafsirkan isyarat-isyarat yang dimunculkan oleh massa mengenai keinginan-keinginan dan motivasi mereka yang paling dalam.

Seorang kader adalah seorang yang memiliki disiplin ideologis dan administratif, yang mengetahui dan mempraktekkan sentralisme-demokrasi dan yang mengetahui bagaimana mempraktekkan azas diskusi kolektif dan pengambilan keputusan serta tanggung jawabnya masing-masing. Ia adalah seorang individu yang telah terbukti kesetiaannya, yang keberanian lahiriah dan moralnya telah berkembang seiring dengan perkembangan ideologisnya, yang dengan demikian ia selalu berkeinginan untuk menghadapi setiap perdebatan dan bahkan menyerahkan seluruh hidupnya untuk kejayaan revolusi. Sebagai tambahan, ia juga seorang individu yang dapat berfikir berdikari, yang mampu membuat keputusan-keputusan yang diperlukan dan melakukap prakarsa kreatif yang tidak bertentangan dengan disiplin.

Karenanya, kader adalah seorang pencipta, seorang pemimpin yang berpendirian kukuh, seorang teknisi dengan tingkat politik yang baik, yang memegang prinsip dialektika untuk memajukan sektor produksinya, atau mengembangkan massa dari posisi kepemimpinan politiknya.

Manusia teladan ini, yang dari luar nampak seolah-olah tingkat kebajikannya itu sulit dicapai, ternyata hadir diantara rakyat Kuba, dan kita menemuinya tiap hari. Hal yang pokok sebetulnya adalah mengambil manfaat dari setiap peluang yang ada guna mengembangkan mereka semaksimal mungkin, untuk mendidiknya, untuk menarik manfaat yang paling besar dari setiap kader dan mengalihkannya menjadi nilai tertinggi bagi kepentingan bangsa.

Pengembangan saorang kader dicapai melalui pelaksanaan tugas-tugas setiap hari. Selain itu, tugas-tugas itu harus dijalankan secara sistematik, di dalam sekolah-sekolah khusus, diajar oleh pengajar yang kompeten--yang memberikan teladan bagi murid-muridnya--akan mendorong kemajuan ideologis yang paling pesat .

Dalam sebuah sistem yang sedang mulai membangun sosialisme, jelas kader harus maju secara politik. Selain itu, bila kita mempertimbangkan perkembangan politiknya, kita tidak hanya memperhitungkan teori Marxist. Kita harus juga menuntut tanggungjawab dari individu terhadap tindakan-tindakannya, sebuah disiplin yang mengendalikan setiap kelemahan dan yang tidak menghambat lahirnya prakarsa Dan kita harus mgnuntut kekhusukkannya yang terus-menerus terhadap semua masalah-masalah revolusi. Untuk dapat mengembangkan seorang kader, kita harus memulai dengan menegakkan prinsip seleksi diantara massa. Di sana lah kita menemukan individu-individu yang berkembang, yang diuji oleh pengorbanan atau yang baru mulai menunjukkan kepeduliannya dan menugaskan mereka ke tempat-tempat belajar khusus ; atau bila belum ada sekolah-sekolah sedemikian, berikan mereka tanggung jawab yang lebih sehingga mereka teruji dalam kerja praktek.

Dengan cara ini kita telah menemukan sejumlah besar kader-kader baru di tahun-tahun belakangan ini. Tapi perkembanqan mereka tidaklah sama, ketika kawan-kawan muda itu harus menghadapi kenyataan dimana kemunculan pera revolusioner itu tanpa kepemimpinan partai yang memadai. Beberapa diantaranya memang benar-benar berhasil, tetapi lainnya tidak dapat menyelesaikannya dan terputus di tengah jalan Atau lenyap begitu saja ditelan labirin birokrasi, atau terperosok ke dalam godaan-godaan kekuasaan.

Untuk menjamin kemenangan dan konsolidasi menyeluruh dari revolusi, kita harus mengembangkan berbagai jenis kader yagn berbeda. Kita membutuhkan kader politik yang akan menjadi fondasi bagi organisasi-organisasi massa, dan yang akan memimpin massa melalui aksi Partai Persatuan Revolusi Sosialis (2). (Kita telah mulai meletakkan fondasi ini bersama Sekolah Pengajaran Revolusioner, tingkat nasional dan propinsi dan bersama kelompo-kelompok pengkajian dan studi di semua tingkatan). Kita juga membutuhkan kader-kader militer. Untuk mencapai itu kita dapat memanfaatkan proses seleksi selama perang yang dibuat diantara pejuang-pejuang muda kita. Karena, banyak diantara mereka yang masih hidup tapi tanpa pengetahuan teoritik yang cukup, tapi mereka teruji di bawah siraman peluru. Mereka teruji di dalam keadaan perjuangan yang paling su1it, dengan kesetiaan yang telah terbukti kepada rejim revolusioner seJak kelahiran dan perkembangannya, mereka berkait erat semenjak perang gerilya pertama di Sierra Maestra itu. Kita juga mengembangkam kader-kader ekonomi, yang akan mengabdikan dirinya khusus untuk menghadapi perencanaan yang sulit dan tutas-tugas negara sosialis pada masa pembentukannya.

Adalah perlu untuk bekerja dengan kaum profesional, dengan mendesak kaum muda untuk mengikuti salah satu karir teknik yang lebih penting dalam upaya memberikan i1mu pengetahuan, sebuah energi antusiasme ideologis yang menjamin kelajuan pembangunan. Adalah keharusan untuk menciptakan suatu tim administratif yang mengetahui bagaimana menqambi1 manfaat dan_ menyesuaikan pengetahuan teknis khusus lainnya, serta membimbing perusahaan-perusahaan organisasi negara lainya, untuk membawa membawanya sejalan dengan irama revolusi.

Ukuran umum bagi semua kader ini adalah kejernihan politik. Tapi ini bukan berarti dukungan membabi buta terhadap dalil-dalil revolusi, melainkan suatu dukungan yang beralasan. Hal itu memerlukan kapasitas yang besar untuk berkorban dan satu kapasitas analisis dialekttis yang memungkinkannya untuk memberikan sumbangan yang berkesinambungan pada semua tingkatan, hingga memperkaya teori dan praktek revolusi. Kawan-kawan ini harus diseleksi hanya dengan penerapan prinsip bahwa yang terbaiklah yang akan maju ke depan dan yang terbaiklah harus diberikan kesempatan terbesar untuk berkembang.

Dalam semua situasi ini, fungsi kader adalah sama pada masing-masing front yang berbeda. Kader adalah komponen penting dari motor ideologis dari Partai Persatuan Revolusi. Hal ini adalah sesuatu yang dapat kita sebut sebagai gigi penggerak dari motor itu. Menjadi penggerak lantaran ia merupakan bagian dari motor yang menjamin agar motor tersebut bekerja dengan benar. Menjadi penggerak karena ia tidak hanya sekedar penyampai slogan atau menuntut kenaikan atau penurunan, tetapi seorang pencipta yang akan membantu dalam pengembangan massa dan penyampai informasi pada para pemimpin serta menjembatani kontak diantara mereka. Kader memiliki misi penting yang melihatnya bahwa semangat besar revolusi tidak terkikis, dan semnagat besar revolusi tidak terbuang percuma dan tidak terlelap atau berkurang ritmenya. Ini merupakan posisi yang rawan. Ia menyampaikan apa yang datang dari massa dan menanamkan orientasi partai pada massa.

Oleh karena itu pengembangan kader sekarang adalah sebuah tugas yang tak dapat ditunda lagi. Pengembangan massa telah dilaksanakan oleh pemerintah dengan tekad yang besar dan dengan program-program bea-siswanya, dengan prinsip seleksi dengan program studi untuk para pekerja yang menawarkan berbegai kesempatan bagi pengembangan berbagai teknologi; dengan pengembangan sekolah-sekolah teknik yang khusus; dengan pengembangan sekolah-sekolah dan universitat-universitas yang membuka karir-karir baru. Pendeknya, hal ini dilakukan dengan pengembangan studi, kerja, dan kewaspadaan revolusioner sebagi semboyan bagi seluruh negeri kita, yang secara fundamental berbasis pada persatuan Komunis Muda, darimana semua jenis kader harus muncul di masa depan. Bahkan kader-kader pimpinan revolusi.

Hal yang berkaitan erat dengan konsep "kader" adalah konsep kapasitas untuk berkorban, untuk memperlihatkannya melalui contoh-contoh pribadi dari kebenaran dan semboyan revolusi. Sebagai pimpinan politik, para kader harus memperoleh penghargaan dari para pekerja oleh tindakan-tindakan mereka. Adalah suatu keharusan, bahwa mereka memperoleh penghargaan dan kecintaan dari kawan-kawan mereka yang mereka harus bimbing dalam jalan kepeloporan.

Karena semua inilah, tidak ada kader yang lebih baik daripada mereka yang dipi1ih oleh massa di dalam pertemuan-pertemuan yang memilih para pekerja teladan, yang akan bergabung di dalam PURS bersama anggota-anggota lima ORI yang lulus dalam semua ujian seleksi. Pada awalnya, mereka hanya merupakan sebuah partai kecil tapi dengan pengaruh yang besar diantara para pekerja. Kemudian akan tumbuh di saat kemajuan kesadaran sosialis mulai menunjukkkan hasilnya dan ketaatan total terhadap perjuangan rakyat menjadi suatu hal yang diperlukan. Dengen pimpinan-pimpinan perantara dengan kualitas ini, tugas-tugas sulit yang berada di hadapan kita akan diselesaikan dengan kesalahan yang lebih sedikit. Setelah melalui suatu periode yang membingunghan dan metode yang buruk, akhirnya kita tiba pada satu kebijaksanaan yang tepat yang tidak akan pernah ditinggalkan. Dengan impuls kelas pekerja yang selalu diperbarui yang disirami dari pancuran air yang tiada habis-habisnya, para anggota PURS masa depan, dan kepemimpinan partai kita, sepenuhnya kita laksanakan tugas pembentukan kader-kader yang akan menjamin perkembangan yang kukuh dari revolusi kita. Kita harus berhasil dalam tugas ini.

September 1962

Keterangan:
1.Pada November 1959, pemerintahan revolusioner menyetujui suatu undang -undang yang memberikan wewenang pada menteri. perburuhan untuk campur tangan dalam suatu peruahaan, memegang kendali menejemennya tanpa merubah pemilikannya, Para pemilik perusahaan yang diinterrvensi tetap berhak untuk memperoleh laba. bagaimanapun, pada prakteknya sebagian pemilik dari perusahaan-perusahaan ini hengkang dari Kuba. Prosedur ini digunakan terus oleh pemerintah revolusioner sampai akhir 1960, di saat semua cabang-cabang ekonomi pokok dinasionalisasi.

2.Pada saat artikel ini ditulis PURS berada dalam proses pembrntukannya, Pada bulan Maret 1962, pendahulu-pendahulunya ORI, The Integrated Revolution --yang dibentuk melalui penggabungan Gerakan 26 Juli, Partai Sossalis Popular dan Directorate Revolsioner--telah menjalani suatu - proses reorganisasi menuju konsolidasi partai baru di paruh akhir 1963, pusat tari reorganiiasi ini adalah pertemuan-pertemuan yang diadakan pada ribuan tempat-tempat kerja di seluruh Kuba. Masing-masing pertemuan mendiskusikan dan memiiih dari tempat kerja itu seorang pekerja teladan. Mereka yang terpilih pade gilirannya dipertimbangkan untuk keanggotaan partai.



Selengkapnya...

Che Guevara



APA YANG HARUS KITA PELAJARI DAN APA YANG HARUS KITA AJARKAN (1958)

Artikel ini ditulis pada minggu-minggu terakhir sebelum kemenangan, dipublikasikan pada tanggal 1 Januari 1959 di Patria, organ resmi Tentara Pemberontak di Propinsi las Villas

Di bulan Desember ini, bulan peringatan kedua pendaratan Granma, sangat bermanfaat untuk menilik kembali tahun-tahun perjuangan bersenjata dan pertempuran revolusioner kita selama ini. Gejolak pertama diberikan oleh kudeta Batista pada tanggal 10 Maret 1952, dan lonceng pertama bergema pada tanggal 26 Juli 1953, dengan penyerbuan tragis Moncada itu.

Jalanan ini masih panjang dan penuh dengan kesulitan serta kontradiksi. Pada rangkaian setiap proses revolusioner yang diarahkan secara tulus dan bila para pejuangnya sendiri tidak menghambatnya, selalu akan terjadi serangkaian interaksi berkesinambungan (resiprokal) antara pimpinan dan massa revolusioner. Gerakan 26 Juli pun merasakan efek dari hukum sejarah ini. Masih terdapat jurang pemisah antara kelompok kaum muda yang antusias yang melakukan penyerbuan garnisun Moncada pada dini hari 26 Juli 1953, dan pemimpin-pemimpin Gerakan itu pada saat ini, bahkan sekalipun orang-orangnya adalah sama. Selama lima tahun perjuangan ini –termasuk dua peperangan terbuka—telah membentuk semangat revolusioner kita yang senantiasa berhadapan dengan kenyataan dan kearifan naluriah rakyat.

Sesungguhnyalah, kontak kita dengan massa petani telah mengajarkan pada kita adanya ketidakadilan nyata di dalam sistem hubungan pemilikan pertanian pada saat ini. Kaum tani telah meyakinkan kita demi adanya perubahan fundamental yang adil dalam sistem pemilikan tersebut. Mereka menyinari praktek kita sehari-hari dengan kapasitas pengorbanan-dirinya, keagungan, dan kesetiaan.

Namun kita juga mengajarkan sesuatu. Kita telah mengajarkan bagaimana menghilangkan semua ketakutan terhadap penindasan musuh. Kita telah mengajarkan bahwa senjata ditangan rakyat adalah lebih unggul dibanding tentara-tentara bayaran itu. Pendeknya, sebagaimana dinyatakan pepatah umum yang tak perlu diulang-ulang lagi : dalam persatuan ada kekuatan.
Dan para petani yang telah menyadari akan kekuatan dirinya mendesak gerakan, pelopor perjuangannya, untuk maju lebih berani menuntut, hingga menghasilkan undang-undang reformasi agraria Sierra Maestra no.3. [1] Pada saat ini, undang-undang tersebut merupakan kebanggan kita, lambang perjuangan kita, alasan kita untuk hadir sebagai sebuah organisasi revolusioner.

Namun ini bukanlah selalu pendekatan kita terhadap masalah-masalah sosial. Pengepungan benteng kita di Sierra, dimana kita tidak memiliki hubungan yang sungguh penting dengan massa rakyat, dimana sesekali kita mulai merasa lebih yakin kepada senjata kita daripada yakin kebenaran ide-ide kita. Karena inilah, kita kemudian mengalami kepedihan pada tanggal 9 April, saat mana menandai perjuangan sosial dimana Alegria de Pio –satu-satunya kekalahan kitadalam lapangan pertempuran—telah gambarkan dalam perkembangan perjuangan bersenjata.

Dari Alegria de Pio kita dapat menarik pelajaran revolusioner agar tidak mengalami kegagalan lagi dalam pertempuran lainnya. Dari peristiwa 9 April itu, kita juga belajar bahwa strategi perjuangan massa mengikuti hukum-hukum yang tak bisa di belokkan atau dihindari. Pengalaman-pengalaman itu secara jelas memberi pelajaran kepada kita. Untuk kerja diantara massa petani –dimana kita telah mempersatukan mereka, tak peduli afiliasinya, dalam perjuangan demi tanah—saat ini saat ini kita menambahkannya dengan tuntutan kaum buruh yang mempersatukan masa proletar dibawah satu bendera perjuangan, Front Persatuan Buruh Nasional (FONU), dan satu tujuan taktis jangka pendek; pemogokan umum revolusioner.

Disini kita tidak menggunakan taktik-taktik demagogi dalam rangka memamerkan ketrampilan politik. Kita tidak mendalami perasaan massa atas dasar rasa keinginan tahu ilmiah semata; kita melakukannya karena menyambut panggilalan rakyat. Karena kita, sebagai pelopor pejuang buruh dan tani yang tak segan-segan mencucurkan darah kita di gunung-gunung dan dataran negeri Kuba ini, bukan elemen yang terisolasi dari massa rakyat; kita adalah bagian amat dalam dari rakyat. Peran kepemimpinan kita jangan mengisolasi kita; malahan sudah seharusnyalah ia mewajibkan kita untuk selalu bersama massa.

Fakta, bahwa kita adalah gerakan dari semua kelas di Kuba, yang membuat kita juga memperjuangkan kaum profesional dan pengusaha kecil yang menginginkan hidup dibawah undang-undang yang lebih baik; kita juga berjuang demi kaum industrialis Kuba yang berusaha memberi sumbangan kepada bangsa dengan menciptakan pekerjaan ; berjuang untuk setiap orang baik yang ingin melihat Kuba bebas dari kepedihan sehari-hari dimasa menyakitkan sekarang ini.

Sekarang melebihi dari yang sudah-sudah, gerakan 26 Juli, berjuang untuk kepentingan yang paling tinggi dari bangsa Kuba, berperang, tanpa kecongkakan, namun juga tanpa ragu-ragu, demi kaum buruh dan tani, demi kaum profesional dan pengusaha kecil demi para industrialis nasional, demi demokrasi dan kebebasan, demi hak untuk menjadi anak bebas, dari rakyat bebas, demi kebutuhan hidup kita sehari-hari, menjadi tindakan pasti dari upaya kita sehari-hari.

Pada peringatan kedua ini, kita ubah rumusan semboyan kita. Kita tidak lagi “menjadi bebas atau menjadi martir”. Kita akan menjadi bebas –bebas melalui tindakan seluruh rakyat Kuba, yang sedang memutuskan rantai-rantai penindasan dengan darah dan pengorbanan dari putra-putrinya yang terbaik.

Desember 1958

Catatan:
[1] UU .no.3 Sierra Maestra dicanangkan oleh tentara pemberontak pada 10 Oktober 1958. Undang-undang ini menjamin pemilikan tanah kaum petani penggarap, penghuni ‘liar’, dan petani bagi hasil, yang masing-masing memperoleh pembagian kurang lebih dua Caballerias(67 Are). Undang-undang ini merupakan pendahuluan bagi reformasi agraria yang lebih menyeluruh yang dicanangkan oleh pemerintah revolusioner pada 17 Mei 1959.


Selengkapnya...

Minggu, 01 Maret 2009

Unduh MP3

Sujiwo Tejo

Karya-karya Sujiwo Tejo memang nyleneh seperti orangnya, salah satunya adalah pada lagu berikut ini : Pada_Sebuah_Ranjang

Syair Dunia Maya adalah album ke - 3 Sujiwo tejo. Bagi yang ingin mengunduhnya dalam format MP3, silahkan klik :

Selengkapnya...

Sajak Sepi

Aku yang Sombong

Inilah perjalanan panjang tanpa tepi, seperti ombak laut menghantam karang akhirnya kembali ke laut tanpa penyesalan.Jangan tolong aku, karena inilah jiwa yang telah lama diimpikan, dan inilah harapan agar aku selalu bisa bermimpi. Andai kamu datang, jangan pernah katakan apapun, karena aku tidak butuh nyanyian sumbang dari rangkaian syair ratapan



Aku selalu berjalan, menentang angin dingin di setiap relung malam sepi, dalam arus gelombang mendung hitan.Aku berdiri tertawa ketika rasa sakit mendera, rasa perih mengikat erat dalam pelukan perih dan ngilu. Andai kamu datang jangan pernah berpikir hadirkan pertolongan, jangan pernah coba ulurkan tangan persahabatan.

Tidak pernah ada damai mengalir dalam otakku, kecuali hasrat menumpahkan darah, mengalirkan penderitaan ke setiap jiwa-jiwa pengecut. Dan akulah pengecut itu, ketakutan hanya untuk katakan keluhan, ngeri hanya untuk berjalan melempar pandangan.

Jangan pernah coba bakar jiwaku karena akulah bara.
Jangan pernah coba sakiti diriku karena aku adalah sayatan luka
Andai malam memaki, akan ku balas dengan cacian kotor, dengan kalimat jorok.

Tolong hentikan bualan..........
Biarkan malam pergi dan tidak perlu ku ratapi..................
Karena sepi adalah sahabat sejati


Kami yang Tersingkir

Ketika malam kian larut, angin berhembus perlahan takut membuat gaduh dan membangunkan orang sekampung. Di balik awan, bintang mencoba berkedip membawa obor penerangan redup, sontak deru fajar menghentak hamburkan kabar perhelatan besar, pesta pora di antara reruntuhan rumah-rumah kesedihan, di atas tumpukan duka berkarat. Ada teriakan, makian, cacian saling bersahutan, saling berharap menjadi suara penghias kelam.

Dari gundukan sampah mengalir lagu ratapan, alunkan musik-musik kemiskinan, keserakahan, penghianatan, pemberangusan atas nama cinta, atas nama kasih aturan undang-undang, atas nama sayang perompakan, pembajakan. Seutas senyum menyayat dari bibir sang terdakwa, sekelebat canda bersama gebyar lambaian narapidana.

Inilah negri kami dan kami tetap bangga karena penderitaan tidak mengajarkan kami melihat nilai nominal, rasa sakit tidak berharap kami untuk berhitung jutaan, rasa perih ajarkan kami canda tawa, ajarkan senyum manis tentang pengabdian bukan untuk uang.

Lihat saja, rentetan pencurian. Dengar saja, sejuta alasan.

Inilah negri kami dan kami tetap bangga. Lihat saja, penjahat yang terhormat, maling, pencuri, pencoleng berpesta. dan kami gembira bisa melihat pesta-pesta para narapidana.

Inilah negri kami. bukan berapa lama, bukan apa yang bisa, tetapi inilah aku karena inilah uangku.

M E R D E K A............................................!!!

M A T I S A J A..................................!!!




Selengkapnya...

Pemilu



Bajingan Kecil

Serentak seluruh pelosok berteriak. Hidup partai ini, hidup partai itu, hidup partai anu, hidup partai ini itu. Demokrasi. Enak dimakan? Seandainya seluruh penduduk negri kelaparan taruhlah beberapa piring demokrasi di meja makan, undang seluruh tetangga kanan – kiri (pejabatnya jangan) sebelum makan berdo'a bersama-sama, sebelum do'a selesai pasti sudah habis semua menu (makanan), sayangnya demokrasi tidak bisa dicerna perut kita.

Berbeda dengan nasi yang jadi santapan setiap hari, sebanyak apapun makanan yang ada, sampai perut penuh. Tidak ada istilah ”makan”, kecuali sepiring nasi (ini baru makan).

Lain lagi jika yang menyajikan partai ini, dibumbui sedikit garam janji, merica harapan, sebotol sambal militansi. Lauk hasil mancing keributan, di selingi tontonan dengan ki dalang kerusuhan.

”Mantab’....! Mantab’......!”

Menggairahkan (jawa: kapok lombok/pedas tapi asyik). Sementara itu partai itu menyajikan sarapan kuah bensin, cukup membuat telinga budeg.

Ini musim partai. Bukan seperti jamur dimusim penghujan tapi lebih seperti debu dimusim kemarau. Semua tahu. Jamur enak dibikin lauk, cukup bumbu sedikit sudah jadi makanan.

”Sedap.......! nyam... nyam..... cleguks.”

”Srupuuuutttsss....!”

Di mana-mana, ke mana-mana, kapan-kapan, sewaktu-waktu, sehari-hari, seminggu-minggu, sebulan-bulan, selalu bisa menemukan partai ini, partai itu, partai anu, partai ini itu. Tidak aneh lagi, jika kemarin ketemu si anu pakai kaos partai anu, pagi ini sudah pakai kaos ini, besoknya kaos itu. Anehnya tidak ada pengaruh sama sekali bagi politik entah apapun kaos yang dipakai si anu.

”Lha kalau kaosnya harga murahan?”

”Enaknya hari ini dipakai, besok dipakai, lusa dipakai. Kapan nyucinya?”

”Jadi kain lap....! Hadiah multi fungsi dari pak partai, bu partai, mbak, mas, om, tante, abang, adik, simbah kakung.........”

”Aneh benar..”

Akan lain ceritanya. Pak anu pakai kaos anu, duduk di ursi anu, mewakili anu. lima tahu lagi pak anu jadi pak itu, pakai kaos itu, duduk di kursi itu.

”Itulah demokrasi.”

”Demokrasi.”

”Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.”

”Ini rakyat mana yang diperjuangkan nasibnya?”

Semua pasti ada yang disuka, paling disuka, senang, paling disenang. Tapi ada keanehan dari demokrasi. Wakil presiden berambisi jadi presiden, wakil gubernur siap-siap jadi gubernur, wakil bupati mengincar posisi bupati, rakyat jadi wakil rakyat (nah lho?). Sebenarnya rakyat yang menentukan berjalan (itu kalau kakinya dua, kalau kakinya empat jadi bejalan-jalan) atau mandek, merangkak atau berlari, maju atau mundur negri ini. Untuk memperlancar prosesnya setiap lima tahun dipilih orang-orang yang dianggap mampu membuat negri ini bukan cuma berlari kalau perlu terbang melesat. Siang malam mereka harus bekerja (maklum wakil harus menurut yang diwakili), setahun sekali studi banding keluar negri (cuma sekali setahun?), diberi uang saku, dibelikan celana dalam, disemirkan rambutnya yang ubanan (biar kelihatan sippp..), disuapi saat makan.

”Paling enak jadi wakil rakyat.”

”Siapa bilang?”

“Wakil presiden ingin jadi presiden, wakil kep – sek ingin jadi kep – sek.”

“Wakil rakyat ingin jadi rakyat? Mustahil, nanti malah jadi aneh bin ajaib.”


”Anggota dewan yang terhormat.”

Kurang lebih seperti itu penyambutan oleh pejabat daerah pada pembukaan pekan liburan wakil rakyat. Wakil rakyat juga manusia yang perlu refresing, jalan-jalan, rekreasi. Tapi pejabat daerah yang seharusnya libur, berbagi dengan keluarga di rumah harus bekerja ekstra, senyum sana senyum sini, cerita ini itu. Repotnya dari fraksi anu ingin meninjau proyek oleh PT Anu (kebetulan sama namanya). Karena PT Anu ingin dapat proyek tahun depan sang bos memberikan anu untuk pak anu dari fraksi anu. Pak pejabat pura-pura tidak tahu meskipun tahu pak anu dapat anu dari bos PT Anu, pak anu pura-pura tidak tahu kalau pak pejabat sebenarnya juga tahu (harap maklum), berikan saja beberapa anu, pak pejabat juga tahu pasti akhirnya dapat anu.

”Anggota dewan yang terhormat, terimakasih telah berkunjung.” Guide dadakan (capek) tapi sudah biasa.

“Oleh rakyat.”

Karena aku dan yang lainya sering mencuri ayam, kami sepakat memilih pak anu yang maling kambing, sebenarnya ada yang mengusulkan memilih pak itu tapi pak itu kemarin maling sapi, terlalu tinggi lah. Sepekan rapat akhirnya diputuskan untuk mendukung pak ini. Pak anu dan pak itu dianggap tidak bisa memperjuangkan nasib pencuri ayam. Buktinya saya kemarin habis-habisan digebuki massa gara-gara ayam pak RT hilang pan anu diam saja, parahnya ayam pak RT dijual anaknya buat beli pisang goreng.

”Nasib.... nasib.....!”

Dipikir-pikir jadi pencuri ayam banyak untungnya, meski sering dimaki, dicaci, digebuki, ditangkap polisi, diadili, dipenjara (makan gratis). Setelah dikurangi cacian sampai penjara keuntunganya tidak ada sama sekali. Remuk, sakit, malu, lapar.

”Nasib.... nasib.....!”

Saat menuju ruang sidang harus menutupi muka. Lha pak anu malah tersenyum, yakin tidak bersalah.

Negara kita kan negara hukum, ingat praduga tak bersalah, jadi sebelum pengadilan memutuskan berarti tidak bersalah.

”Betul......!”

Tapi meski cuma seekor ayam cukup membuat saya malu seumur hidup lho pak.

”Pemilu sebentar.. lagi....”

”Pemilu sebentar.. lagi....”

”Hari yang dinanti-nanti........”



Selengkapnya...

Sabtu, 28 Februari 2009

Bapak Republik yang Dilupakan 7

Kerani yang Baik Hati

Tan Malaka membangkitkan gerakan buruh di Bayah. Tempo menapak tilas perjalanannya.
PENDENGARANNYA tak lagi sempurna. Ingatannya pun telah memudar. Dia hanya menggelengkan kepala ketika ditanyai soal usianya. Parino, dalam kartu tanda penduduk, lahir di Purworejo pada Februari 1917. Sedangkan data Romusha Kecamatan Bayah mencatat nama Amat Parino kelahiran Purworejo 1924.

Parino kini tinggal di Kampung Pulo Manuk, Desa Darmasari, Bayah, Banten Selatan—sekitar 230 kilometer dari Jakarta. Dia diboyong dari Purworejo, Jawa Tengah, untuk bekerja di bagian lubang tambang batu bara. Parino tidak tahu persis usianya ketika itu. Yang diingatnya, ”Saya belum menikah, tapi sudah disunat,” ujarnya sambil tertawa.

Bayah menjadi tempat berkumpul romusha dan pegawai pertambangan sejak Jepang mengeksploitasi tambang batu bara pada 1 April 1943. Pada awal penambangan, sekitar 20 ribu orang datang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, termasuk Parino. Di kawasan pesisir selatan inilah Ibrahim Datuk Tan Malaka singgah dan bekerja sebagai juru tulis.

Tan Malaka datang ke Bayah pada Juni 1943. Dia dikenal masyarakat Bayah dengan nama samaran Ilyas Hussein. Parino lamat-lamat mengingat nama Hussein sebagai seorang kerani atau juru tulis. ”Kalau enggak salah, orangnya sangat pintar,” kata Parino.
Bayah dengan luas sekitar 15 ribu hektare menjadi satu-satunya tempat yang mengandung batu bara di Pulau Jawa sebelum Jepang datang. Belanda telah memberikan izin membuka tambang kepada perusahaan swasta sejak 1903, tapi belum mengeksploitasinya.

Sebelum 1942, kebutuhan batu bara di Jawa dipasok dari Sumatera dan Kalimantan. Namun angkutan pelayaran Jepang banyak terpakai oleh kepentingan perang. Jepang ingin Jawa mandiri dalam memenuhi kebutuhan batu bara.

Jepang membuka tambang lewat perusahaan Sumitomo. Mereka membuka jalur kereta api dari Saketi, Pandeglang, menuju Bayah—sekitar 90 kilometer. Dari Bayah, kereta bersambung menuju ke lokasi penambangan seperti Gunung Madur, Tumang, dan Cihara. Kini beberapa lokasi masih ditambang penduduk, sedangkan yang lain terbengkalai begitu saja.

Tan bekerja di Bayah setelah melamar ke kantor Sosial. Dia butuh penghasilan sekaligus tempat bersembunyi. Waktu itu, perusahaan di Bayah membutuhkan 30 pekerja—bukan romusha. Tan melamar tanpa ijazah. Dia mengaku bersekolah di MULO (setara dengan sekolah menengah pertama) dua tahun dan pernah menjadi juru tulis di Singapura. Tan lulus dengan menyisihkan 50 pelamar.

Tan berangkat dengan kereta api dari Tanah Abang, berakhir di Stasiun Saketi. Saat itu kereta rute Saketi-Bayah belum beroperasi. Dia lalu meneruskan perjalanan dengan truk.

Dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, Tan mendapat cerita tentang asal-usul Saketi. Kata Saketi berasal dari bahasa Sunda, yang artinya 100 ribu. Konon, 100 ribu itu mengacu pada ramalan tentang banyaknya korban selama pembuatan jalur kereta Saketi-Bayah. Jadi, kalau jarak Saketi ke Bayah 90 kilometer, ada satu nyawa melayang dalam satu meter rel.

Stasiun Saketi menjadi tempat persimpangan kereta dari Jakarta menuju Bayah dan Labuan. Tempo—bersama penulis buku Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-1945 , Harry Albert Poeze—menelusuri rute perjalanan Tan dari Stasiun Saketi. Kini bangunan itu telah menjadi tempat tinggal anak kepala stasiun, Momo Mujaya, 58 tahun. Jalur Saketi-Bayah berhenti beroperasi pada 1950-an, disusul Saketi-Labuan sekitar 1980.

Sesampai di Bayah, Tan indekos di rumah warga, sebelum menghuni gubuk kecil dari bambu. Dia selalu memakai celana pendek, kemeja dengan leher terbuka, kaus panjang, helm tropis, dan tongkat. Dia berbicara dengan bahasa Indonesia, tapi jarang tampil di depan umum.

Tan sering menjelajahi pelosok, termasuk Pulo Manuk, enam kilometer dari Bayah. Tempat itu paling ditakuti, termasuk oleh tentara Jepang, karena penyakit kudis, disentri, dan malaria mewabah di sana. Waktu itu, penyakit dan kelaparan menjadi faktor utama kematian romusha di Bayah.

Suatu saat, Tan pernah diminta mengurusi data pekerja. Dia sering berhubungan dengan romusha dan mencatat jumlah kematian mereka. Dalam memoarnya, Tan mencatat 400-500 romusha meninggal setiap bulan. Hingga akhir pendudukan Jepang, luas tempat pemakaman romusha mencapai 38 hektare.

Keluar-masuk terowongan dan memberikan nasihat pentingnya kesehatan, Tan dikenal sebagai kerani yang baik hati. Dia suka membelikan makanan buat romusha dari upahnya sendiri. ”Kita dapat mempraktekkan rasa tanggung jawab terhadap golongan bangsa Indonesia yang menjadi korban militerisme Jepang,” kata Tan suatu ketika.

Di dalam perusahaan, dia selalu mengusulkan peningkatan kesejahteraan romusha. Tan termasuk anti-Jepang, tapi tetap bergaul dengan mereka, termasuk penjabat direktur Kolonel Tamura. Dia mencoba berbicara mengenai kesejahteraan pekerja, tapi upayanya sia-sia.

Romusha mendapat upah 0,40 gulden (40 sen) dan 250 gram beras setiap hari. Uang 40 sen hanya cukup buat membeli satu pisang. Dalam salah satu tulisannya, Rencana Ekonomi Berjuang, Tan mengatakan hitung-hitungan upah romusha hanya di atas kertas. Tulisan itu dia buat di Surabaya pada November 1945.

Di situ Tan melukiskan kondisi romusha di Bayah lewat percakapan dua tokoh cerita, si Toke dan si Godam. ”Seratus ton arang itu diperoleh dengan makian bagero saja. Tanah, mesin, dan tenaga romusha pun digedor,” ucap si Godam. Ringkasnya, Jepang sama sekali tidak mengeluarkan bayaran romusha.

Tan mencoba menggalang pemuda untuk memperbaiki nasib romusha. Dia menggagas dapur umum yang menyediakan makanan bagi seribu romusha. Mereka membangun rumah sakit di pinggiran Desa Bayah, Cikaret. Tan juga membuka kebun sayur dan buah-buahan di Tegal Lumbu, 30 kilometer dari Bayah.

Peran Tan semakin besar ketika dia ditunjuk sebagai Ketua Badan Pembantu Keluarga Peta—organisasi sosial yang membantu tentara bentukan Jepang, Pembela Tanah Air (Peta). Di bawah panji Badan Pembantu, Tan lebih leluasa mengadakan kegiatan kemasyarakatan, seperti pertunjukan sandiwara atau sepak bola.

Tim sandiwara dan sepak bola itu bernama Pantai Selatan. Pertunjukan sandiwara banyak bercerita tentang nasib romusha. Mereka pernah memainkan Hikayat Hang Tuah, Diponegoro, dan Puputan Bali.

Tim sepak bola juga pernah tampil dalam kejuaraan di Rangkasbitung. Tan menggagas pembangunan lapangan sepak bola di Bayah—kini menjadi terminal. Ia menjadi pemain sayap. Tapi Tan lebih sering menjadi wasit. Selesai bermain, dia biasanya mentraktir para pemain.

Pada September 1944, Soekarno dan Hatta berkunjung ke Bayah. Tan menjadi anggota panitia penyambutan tamu. Soekarno berpidato bahwa Indonesia bersama Jepang akan mengalahkan Sekutu. Setelah itu, Jepang memberikan kemerdekaan buat Indonesia. Soekarno meminta pekerja tambang membantu berjuang dengan meningkatkan produksi batu bara.

Selesai pidato, moderator Sukarjo Wiryopranoto mempersilakan hadirin bertanya. Saat itu Tan sedang memilih kue dan minuman untuk para tamu. Para penanya rupanya sering mendapat jawaban guyon sinis. Kepada Son-co (Camat) Bayah, misalnya, Sukarjo mengejek supaya ikut kursus ”Pangreh Praja”.

Tan gerah dengan suasana penuh ejekan itu. Dia pun menyimpan talam kue dan minuman di belakang, lalu bertanya: apakah tidak lebih tepat kemerdekaan Indonesialah kelak yang lebih menjamin kemenangan terakhir?

Soekarno menjawab bahwa Indonesia harus menghormati jasa Jepang menyingkirkan tentara Belanda dan Sekutu. Tan membantah. Menurut dia, rakyat akan berjuang dengan semangat lebih besar membela kemerdekaan yang ada daripada yang dijanjikan.
Tan melihat Soekarno jengkel. Menurut dia, Soekarno mungkin tidak pernah didebat ketika berpidato di seluruh Jawa. Apalagi bantahan itu dari Bayah, kota kecil di pesisir yang cuma dikenal karena urusan romusha dan nyamuk malaria. Tan ingin berbicara lebih panjang, tapi keburu dihentikan.

Awal Juni 1945, Tan menerima undangan dari Badan Pembantu Keluarga Peta Rangkasbitung untuk membicarakan kemerdekaan. Pertemuan itu untuk memilih dan mengirimkan wakil Banten ke pertemuan Jakarta. Tan—sebagai Hussein—didaulat menjadi wakil Banten ke konferensi Jakarta.

Pertemuan di Jakarta diadakan buat mempersatukan pemuda Jawa. Konferensi gagal terlaksana karena larangan Jepang. Tan hanya berbicara sebentar dengan kelompok pemuda angkatan baru, seperti Harsono Tjokroaminoto, Chaerul Saleh, Sukarni, dan B.M. Diah.

Kembali ke Bayah, Tan pindah tugas ke kantor pusat dan mencatat data mengenai romusha. Suatu ketika, Jepang mengumumkan rencana pemotongan ransum. Tan lalu mengemukakan keberatannya dengan berorasi di muka umum. Besoknya, Jepang membatalkan pengurangan ransum.

Di Jakarta, pidato Tan itu dikabarkan menjadi biang kerusuhan. Romusha melarikan diri dan mogok di Gunung Madur. Kempetai (polisi militer Jepang) di Bayah mulai mencari identitas Hussein. Tapi penyelidikan terhenti karena posisi Jepang kian genting. Jerman sudah menyerang dan Rusia menyerbu Jepang pada 9 Agustus 1945.
Tan melihat aktivitas orang Jepang mulai longgar. Dia memanfaatkan situasi itu untuk minta izin hadir dalam konferensi pemuda di Jakarta pada 14 Agustus. Dia menjadi utusan semua pegawai pertambangan dan mendapatkan surat pengantar untuk Soekarno dan Hatta.

Sesampai di Jakarta, dia hanya bertemu sebentar dengan Sukarni. Dia tidak mengetahui drama penculikan Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Setelah merdeka, Tan lebih banyak tinggal di Jakarta. Akhir Agustus, dia pergi ke Bayah mengunjungi pemimpin Peta, Djajaroekmantara.

Tan Malaka ke Bayah juga punya tujuan lain, yakni mengambil naskah Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika). Poeze mengatakan naskah itu tersimpan rapi tanpa diketahui siapa pun.

Di Bayah, kegiatan penambangan berangsur terhenti sepeninggal Jepang. Penduduk membumihanguskan Bayah saat agresi militer kedua Belanda pada 1948. Pemerintah setempat membuat tugu romusha pada 1950-an. ”Rasanya dulu lebih ramai ketimbang sekarang,” kata Haji Sukaedji, 73 tahun, warga kelahiran Bayah, kepada Tempo.
Stasiun Bayah kini menjadi tanah kosong penuh ilalang....

TEMPO, 25/XXXVII 11 Agustus 2008


Selengkapnya...

Sajak-sajak D.N. Aidit



Lumpur dan Kidung

- Hanja Inilah Djalannja –

sepatu setengah usang membenam dalam lumpur
menudju teratak,
air menetas dari atap
membasahi kekayaanku jang paling berharga
pengalaman djerman inggris perantjis rusia
tiongkok dan banjak lagi,
hasil pemikiran putera-putera dunia terbaik
temanku njenjak kembali setelah membuka pintu
kesunjian diluar membantuku
makin dalu makin djauh tenggelam,
ingat aku akan sumpah setia pada adjarannja.


kokok ajam djantan tak mengagetkan,
siang dan malam sama sdja,
djalan jang ditundjukkannja selamanja terang
kita pasti akan sampai keudjung djalan ini
dimana tak ada sepatu usang,
dimana tak ada lumpur membenam,
dimana tak ada teratak botjor,
tapi hanya inilah djalannya.

Djakarta, malam, 27 Djanuarti `55


Kini Ia sudah Dewasa
(menjambut ulang tahun ke-35 PKI)
23 Mei 1955

35 tahun jang lalu
Ia lahir
dengan kesakitan
Klas termadju,
Sebagai anak zaman
Jang akan melahirkan zaman.

Ia tahan taufan
dan tak lena karena sepoi
ia menjusup dihati Rakjat
lebih dalam dari laut Banda
Ia menghias hidup
lebih indah dari sunting tjempaka.

Ia dihidupkan oleh hidup,
tahan teror dan provokasi
dulu, sekarang dan nanti
Ia Antaeus, anak Poseidon
tak terkalahkan selama setia pada bumi
Ia anak zaman jang melahirkan zaman
Kini ia telah dewasa.


Tembok Granit
(kepada “Dewan2Partikelir” Dalam Munas)

Dengan ugjung bajonet itu
kau naikkan sikepala batu
duduk bersama Rakjat dan aku
Kau harap dapat menghambat
sedjarah jang djalannya tjepat
tak tahu kaulah yang kan kiamat;

Kau mau ulangi tjerita usang
tentang Negro empatlapan
tentang Magelang dan Ngalian
tau lupa Amir dan Hadji Bakri
lupa para petani bagi2 tanah
di Wonogiri dan Bojolali

Derap sepatu sedjarah
akan indjak2 sikepalabatu
dan bajonet itu akan patah
Tembok granit lebih keras
dari tembok batu
tembok granit Rakjat bersatu

Djakarta, 15 September 1957


Jang Mati Hidup Abadi

Lama nian aku tak menangis
tidak karena mata sudah mengerting
atau hati membeku dingin
tapi kali ini, dengan tak sedar
hati kepala penuh taktertahan
butir2 air mata membasahi koran pagi
Orang hitam berhati putih itu
dibunuh siputih berhati hitam!

Tapi, bukankah pembunuh terbunuh?
Lumumba sendiri hidup se-lama2nya
Lumumba mati hidup abadi
Kini dunia tidak untuk siputih jang hitam
tapi untuk semua
putih, kungin, sawomatang, hitam …….
Kini udara penuh Lumumba
karena Lumumba berarti merdeka.

Djakarta, 14 – 2 – 61


Radja Naik Mahkota Ketjil

Udara pagi ini tjerah benar
pemuda njanji nasakom bersatu
gelak ketawa gadis remadja
mendengar silalim naik tachta,
tapi konon mahkotanja ketjil.

Buruh dipabrik tani diladang
ibuibu menjusui anak
tibatiba nafas terlepas lega
mendengar siradja naik tachta,
tapi konon mahkotanja ketjil.

Ini pertanda zaman kita
jang lapuk terpaksa turun
jang baru terus membaru
bagi jang lama sudah magrib
baik jang baru mentari naik.

Ajo, madju terus kawan-kawan
halau dia kedjaring dan djerat
tangkap dia dan ikat erat
hadapkan dia kemahkamah Rakjat!

Djakarta, 23 Djuni 1962.


Kidung Dobrak Salahurus

Kau datang dari djauh adik
dari daerah bandjir dan lapar
dengan hati lebih keras dari bentjana
selamat datang dalam barisan kita

Dikala kidung itu kau tembangkan
bertambah indah tanah Priangan
sesubur seindah Priangan manis
itulah kini Partai Komunis

Tarik, tarik lebih tinggi suaramu
biar tukang-tukang salahurus tahu
bentji Rakjat dibawa mati
tjinta Rakjat pada PKI

Teruskan, teruskan tembangmu
bikin rakyat bersatu-padu
bikin Priangan madju dan djaja
alam indah Rakjat bahagia.

Tjipanas, 16 Djanuari 1983


Hati Dibakar Tjinta

Hati membara dibakar tjinta
hangat segar marak bernjala
langkah indah tjinta dan tjita
bagaikan bunga dikarang indah

Biarkan, biarkan ia membara
membakar dan bernjala
menghangatkan semua derita
menghangatkan setia mesra

Adakah hidup lebih bahagia
dari hati dibakar tjinta
padamu kasih padamu tjita
bagimu kasih tjintaku mesra

Adakah hati lebih gembira
dari hangat dibakar tjinta
padamu kasih padamu tjita
bagimu Partaiku djaja!

Djakarta, 2 Djuli 1963
Selengkapnya...

Bapak Republik yang Dilupakan 6

Gerilya Dua Sekawan

Tan Malaka dan Jenderal Soedirman sama-sama menentang diplomasi. Renggang setelah peristiwa Wirogunan.

SLAMET Gandhiwijaya adalah aktivis Murba. Ia tinggal di rumah besar di dekat stasiun Kedungrandu, 10 kilometer dari Purwokerto, Jawa Tengah. Tan Malaka kerap datang sembunyi-sembunyi ke rumah itu. Di sana, dia kemudian bertemu dengan para tokoh Persatuan Perjuangan.


Beberapa kali sepanjang tahun 1946, Tan datang khusus untuk menemui Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat, Jenderal Sudirman. Perintis Gunawan, putra bungsu Slamet—kini 49 tahun—mendapat cerita pertemuan kedua tokoh itu dari ibunya, Martini.
Setiap datang ke rumah itu, Soedirman selalu lebih dulu mencari Herman, sepupu Perintis. Sang Jenderal lalu menimang-nimang bocah itu sebelum masuk ke ruang makan. Di situ ia bertemu dengan Tan. ”Ibu langsung disuruh keluar. Dia tidak boleh mengikuti pertemuan,” kata Perintis.

Harry A. Poeze, sejarawan Belanda yang banyak menulis buku tentang Tan, mengatakan kedua tokoh itu berhubungan dekat. Mereka bertemu pertama kali dalam Konferensi Persatuan Perjuangan di Purwokerto, Januari 1946. ”Mereka mempunyai persamaan pendapat dan ideologi,” katanya.

Adam Malik, dalam buku Mengabdi Republik Jilid II: Angkatan 45, bahkan menyebut Tan dan Soedirman sebagai ”dwitunggal”. Ia menyamakan hubungan kedua tokoh dengan relasi Soekarno-Hatta serta Sutan Syahrir-Amir Syarifuddin. Adam menilai Tan dan Soedirman memiliki urat dan akar di kalangan pemuda radikal, anggota pasukan Pembela Tanah Air, dan bekas romusha. ”Di bawah pimpinan Tan dan Sudirman, para pemuda itu menyerang pos dan kubu pertahanan Jepang,” Adam menulis.

Keduanya juga diikat kesamaan sikap: menentang jalan diplomasi pemerintahan Sutan Syahrir. Bagi mereka, ”kemerdekaan harus seratus persen” dan ”berunding berarti kemerdekaan kurang dari seratus persen”.

Jalan oposisi Tan berbuah penjara. Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin memerintahkan penangkapannya. Pada 17 Maret 1946 beserta beberapa pemimpin Persatuan Pergerakan, dia diringkus di Madiun, Jawa Timur. Tan dijebloskan ke penjara Wirogunan, Yogyakarta. Dua belas pemimpin Barisan Banteng ditangkap dua bulan kemudian.

Soedirman tidak tinggal diam. Ia memerintahkan Panglima Divisi III Mayor Jenderal Sudarsono membebaskan semua tahanan pada 3 Juli 1946. Dengan perintah ini, Sudarsono dan pasukannya menyerbu penjara Wirogunan. Aksi ini membuat marah Presiden Soekarno. Ia memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto, penanggung jawab keamanan Yogyakarta—kelak menjadi presiden—agar menangkap Sudarsono.

Setelah peristiwa ini, hubungan Tan dan Soedirman merenggang. Soedirman menganggap koleganya terlalu jauh menekan Soekarno. Menurut Harry Poeze, Soedirman juga tidak setuju dengan langkah Tan membantu laskar rakyat yang secara politik bertentangan dengan tentara.

Adam Malik menulis, Presiden Soekarno berhasil meyakinkan Jenderal Soedirman untuk meninggalkan Tan. Sebagai balasan, ia mendukung penuh semua keputusan Sudirman sebagai panglima besar tentara. Sejarah mencatat, Tan dan Soedirman kembali ke jalan gerilya setelah Agresi Militer Belanda II pada 1948.

Dalam agresi itu, Belanda menangkap Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, Haji Agus Salim, dan para pejabat pemerintah. Mereka diasingkan ke Bangka. Sudirman lolos dari sergapan Belanda dan masuk hutan. Ia bergerilya di Jawa Tengah.

Tan berangkat ke Kediri dengan kereta api khusus, dikawal 50 orang. Ia bergabung dengan satu brigade Divisi IV Tentara Nasional Indonesia pimpinan Sabarudin di Blitar, Jawa Timur. Di markas pertahanan Desa Belimbing, Kediri, ia mendirikan Gabungan Pembela Proklamasi yang kemudian menjadi Gerilya Pembela Proklamasi.

Ia banyak menulis pamflet yang dia beri nama ”Dari Markas Murba Terpendam”. Lewat RRI Kediri, Tan menyerukan rakyat terus bergerilya melawan Belanda seperti Soedirman.

TEMPO, 25/XXXVII 11 Agustus 2008

Selengkapnya...

Bapak Republik yang Dilupakan 5



Si Mata Nyalang di Balai Societeit

Tan Malaka membangun Persatuan Perjuangan di Purwokerto. Upaya menyerang politik diplomasi pemerintah.

PURWOKERTO, kota kecil di selatan Jawa Tengah, menyala-nyala. Bintang Merah, bendera Murba, berderet-deret setengah kilometer dari alun-alun kota hingga Societeit, balai pertemuan merangkap gedung bioskop. Tiga ratusan orang memenuhi bangunan itu. Mereka wakil dari 141 organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan laskar.

Nirwan, guru Sekolah Rakyat dan aktivis Murba, mengingat petang itu, 4 Januari 1946, tepat seratus hari pasukan Sekutu mendarat di Jawa. ”Orang berduyun-duyun ke kota ingin menyaksikan tamu yang datang,” ujar pria yang saat itu berusia 16 tersebut.

Rapat politik itu dihadiri antara lain para pemimpin pusat Partai Sosialis, Partai Komunis Indonesia, Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Buruh Indonesia, Hizbullah, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi, dan Persatuan Wanita Indonesia. Rakyat jelata berjejal-jejal. Mereka antusias, karena Panglima Besar Jenderal Soedirman juga di tengah-tengah mereka.
Nirwan menuturkan peserta rapat tiba dengan kereta api. Mereka yang tiba dari Purbalingga, Wonosobo, Semarang, Yogyakarta, dan Solo turun di Stasiun Timur. Adapun peserta dari Jawa Barat turun di Stasiun Raya, kini stasiun di kota itu. Para kader Murba dari daerah dengan sukarela menyumbang pelbagai barang: sekadar beras atau gula merah. Tak hanya untuk konsumsi rapat, barang-barang yang terkumpul dijual untuk keperluan lain.

Murba ketika itu belum menjadi partai, melainkan gerakan rakyat jelata. Tan Malaka menggagasnya buat melawan kapitalisme dan penjajahan serta untuk menggapai kesejahteraan. Purwokerto dianggap merupakan basis kuat, karena itu Tan memilihnya untuk tempat kongres para pemimpin berbagai organisasi.

Di kota ini, Tan bersahabat kental dengan Slamet Gandhiwijaya. Tokoh Murba Purwokerto ini menjadi penyandang dana terbesar. Dari Slamet pula Nirwan mengenal sosok Tan Malaka. ”Slamet menjual sawah untuk biaya kongres,” kata Nirwan, yang menjadi Ketua Agitasi dan Propaganda setelah Tan mendeklarasikan Partai Murba pada November 1948.

Slamet pernah dibuang ke Digul karena aktif di gerakan kiri menentang Belanda. Saat pendudukan Jepang, pria kelahiran Madiun, Jawa Timur, 1901 ini dipercaya memimpin sejumlah proyek pembangunan, seperti jalan dan waduk. Belum semua proyek rampung, Sekutu menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.

Jepang kalah dan lari dari daerah pendudukannya di Asia Timur, termasuk Indonesia. Ketika Jepang menyingkir dari Jawa, menurut peneliti dan penulis buku tentang Tan Malaka, Harry A. Poeze, koper Slamet masih penuh uang. Duit ini yang dipakai untuk biaya gerakan politik.

Slamet tinggal di dekat Stasiun Kedungrandu, Kecamatan Patikraja, Banyumas, 10 kilometer dari Kota Purwokerto. Dulu, perusahaan kereta api Belanda, Serajoedal Stoomtram Maatschappij dan Serajoedal Staatspoor, mengoperasikan kereta api Cilacap-Stasiun Raya Purwokerto-Gombong yang melalui Kedungrandu. Jalur ini melintas di dekat aliran Sungai Serayu. Tapi pada 1936, dua perusahaan itu bangkrut.

Ada tiga rumah bekas petinggi perusahaan kereta api Belanda di Kedungrandu. Satu di antaranya ditempati keluarga Slamet. Di kiri-kanan rumah Slamet terhampar sawah. Di kejauhan tampak bukit-bukit hijau. Rumah Slamet menghadap ke utara, berpagar pohon petai cina. Di belakang rumah mengalir Kali Pematusan, sekaligus pembatas rumah dengan sawah. ”Dulu saya suka memetik klandingan (petai cina) di situ,” ungkap Nasirun, 66 tahun, tetangga Slamet.

Rumah berarsitektur Belanda ini telah dilengkapi telepon dan garasi mobil. Darmuji, 76 tahun, penduduk setempat, mengenal Slamet sebagai priyayi terpandang dan kaya di Patikraja. Orang kebanyakan, termasuk Darmuji, umumnya takut bertamu. ”Saya dan Den Slamet kan beda,” katanya.

Ketika pergi ke Purwokerto, Tan selalu menginap di sini. Di rumah ini pula Tan bertemu dengan Soedirman sebelum kongres. Slamet dan istrinya, Martini, memanggil Tan dengan sebutan Ohir. Mungkin diambil dari bahasa Belanda, ouheer, yang bermakna orang tua. Perintis Gunawan, 49 tahun, anak Slamet yang kini tinggal di Cireundeu, Tangerang, mendapat kisah ini dari ibunya.

Jika mendengar kabar mata-mata musuh mencari, Tan segera bersembunyi di perbukitan. Martini lihai merahasiakannya. ”Kalau Tan lari ke selatan, ibu saya bilang larinya ke utara,” kata Perintis. Rumah Slamet dijaga Nero, anjing peliharaan. Ada juga kolam ikan. Di sini ada ikan yang dinamai Yopi. ”Jika tangan Tan menaburkan pakan, Yopi langsung menyaut,” kata Perintis, mengingat kisah dari ibunya. Martini, yang kelahiran Purwokerto, 5 Oktober 1920, adalah aktivis perempuan Muhammadiyah, Aisyiah. Ia meninggal November tahun lalu.

Rumah Slamet sejak 1977 menjadi gedung Koperasi Unit Desa Patikraja. Memang, ia telah mengosongkan rumah itu seusai Agresi Belanda II pada Desember 1948. Ia membangun rumah di atas tanah milik sendiri, satu kilometer dari rumah lama. Slamet mengembalikan rumah lama kepada negara. Sejak itu rumah tidak dirawat. Kayu lapuk dan tembok ambrol. Kini, di atasnya berdiri bangunan baru sejumlah rumah. Bekas Stasiun Kedungrandu dibeli Si Kuan, pengusaha setempat, untuk penggilingan padi, yang hingga kini bertahan.

Di rumah baru, Slamet membuka usaha furnitur. Martini menekuni industri rumah kain batik. Slamet menempati rumah ini hingga ia meninggal 4 September 1966. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tanjung Nirwana, Purwokerto, sebagai perintis kemerdekaan. Kini, meja dan kursi tempat Tan berdiskusi dengan Soedirman sambil makan masih terawat. Meja kayu jati bulat telur itu semula hitam. Pelitur ulang mengubahnya menjadi cokelat.

Gedung pertemuan tempat Kongres Persatuan Perjuangan di Purwokerto itu sejak 1964 hingga kini menjadi gedung Radio Republik Indonesia di Jalan Jenderal Soedirman. Menurut Soegeng Wijono, 70 tahun, ahli sejarah ekonomi Purwokerto, gedung itu beberapa kali berubah nama. Pada zaman Belanda bernama Societeit. Jepang masuk berganti nama Gedung Asia Bersatu. Setelah Republik berdiri, disebut Balai Prajurit. ”Tapi orang-orang tua lebih suka menyebutnya Societeit,” kata Soegeng.

Untuk menuju Societeit, tempat kongres, Tan berangkat dari rumah Slamet menggunakan mobil yang ia bawa dari Yogyakarta. Banyak peserta kongres belum mengenal Tan. Koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta terbitan 6 Januari 1946, seperti ditulis Harry A. Poeze dalam bukunya, menggambarkan peserta rapat terdiam menahan napas menyambut Tan naik podium.

Koran Indonesia saat itu umumnya terbit hanya dua halaman. Jarang sekali koran menulis gambaran suasana. Kedaulatan Rakyat melaporkan:
Umur beliau lebih dari 50 tahun. Tetapi kelihatannya lebih muda. Badan beliau tegap, sehat, kuat, muka tampak segar. Mata agak kecil tapi tajam. Melihat kerut-kerut wajah beliau, maka kelihatanlah dengan nyata karakter beliau yang kukuh, kuat, dan berdisiplin. Pakaian sederhana. Berkemeja dan bercelana pendek dan berkaos kaki panjang.

Nuansa ketidakpuasan menyelimuti kongres. Para peserta tak sepakat dengan langkah diplomasi Soekarno-Hatta dan Perdana Menteri Sjahrir. Tan geram dengan para pemimpin yang tak bereaksi atas masuknya Sekutu ke Indonesia.

Tan mengajukan tujuh pasal program minimum: berunding untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan 100 persen, membentuk pemerintah rakyat, membentuk tentara rakyat, melucuti tentara Jepang, mengurus tawanan bangsa Eropa, menyita perkebunan musuh, dan menyita pabrik musuh untuk dikelola sendiri.

Menurut Tan, kemerdekaan 100 persen merupakan tuntutan mutlak. Sesudah musuh meninggalkan Indonesia, barulah diplomasi dimungkinkan. Tan bertamsil: orang tak akan berunding dengan maling di rumahnya. ”Selama masih ada satu orang musuh di Tanah Air, satu kapal musuh di pantai, kita harus tetap lawan,” katanya.

Jenderal Soedirman tak kalah garang. Ia berpidato di kongres: ”Lebih baik diatom (dibom atom) daripada merdeka kurang dari 100 persen.” Para peserta kongres akhirnya sepakat membentuk Persatuan Perjuangan.

Persatuan kemudian dideklarasikan di Balai Agung, Solo, pada 15 Januari 1946. Kongres Solo disebut Kongres I Persatuan Perjuangan. Dibuka pukul 10 pagi, kongres ini dihadiri 141 organisasi. Panitia mengundang Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan anggota kabinet. Tapi, yang datang hanya Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo, Jaksa Agung Gatot Taroenamihardjo, dan Panglima Besar Soedirman.

Sultan Yogya dan Susuhunan Solo mengirimkan wakil mereka. Peserta menginap di Hotel Merdeka, Solo.

Setelah bendera oposisi dikibarkan di Purwokerto, Tan ditangkap. Ia lalu dipenjarakan di sejumlah tempat: Wirogunan Yogyakarta, Madiun, Ponorogo, Tawangmangu, dan Magelang.

Ketika Tan dipenjara di Wirogunan pada 1946, anak muda Murba bernama Anwar Bey, kini 79 tahun, besuk bersama Abdullah, guru Meer Uitgebreid Lager Onderwijs Adabiyah Padang, juga orang Pari—Partai Republik Indonesia. Anwar kelak menjadi wartawan Antara dan Sekretaris Wakil Presiden Adam Malik. Mereka diutus pemuda Sumatera Barat. Perjumpaan itu cuma setengah jam dan mereka tak banyak bicara karena diawasi sipir pendukung Hatta. ”Tan hanya bilang teruskan perjuangan,” kata Anwar.

Konferensi itu sebenarnya direncanakan berlangsung di Malang, Jawa Timur, Desember 1945. Ketika itu, laskar dan tentara meninggalkan Surabaya setelah pertempuran 10 November 1945. Tapi, karena banyak wakil berada di Jawa Barat dan Jakarta, konferensi dimundurkan. Tan ke Cirebon menemui wakil-wakil organisasi dari pelbagai daerah. Selanjutnya, untuk pertama kalinya Tan bertemu dengan wakil organisasi dari kota-kota di Jawa pada 1 Januari 1946 di Demakijo, Godean, Yogyakarta. Mereka sepakat bertemu di Purwokerto.

Kelak, pertemuan Purwokerto diakui memberikan sumbangan besar. Ketika memperingati sewindu hilangnya Tan Malaka pada 19 Februari 1957, Kepala Staf Angkatan Darat Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution mengatakan pikiran Tan dalam Kongres Persatuan Perjuangan dan pada buku Gerpolek (Gerilya Politik Ekonomi) menyuburkan ide perang rakyat semesta. Perang rakyat semesta ini, menurut Nasution, sukses ketika rakyat melawan dua kali agresi Belanda. Terlepas dari pandangan politik, ia berkata, Tan harus dicatat sebagai tokoh ilmu militer Indonesia.


TEMPO, 25/XXXVII 11 Agustus 2008


Selengkapnya...

Bapak Republik yang Dilupakan 4



Kisruh Ahli Waris Obor Revolusi

Soekarno pernah memberikan testamen politik dan naskah proklamasi kepada Tan Malaka. Testamen itu belakangan dibakarnya.

SAYUTI Melik mengemban tugas penting. Tiga pekan setelah proklamasi, ia diminta Soekarno mencari Tan Malaka. Bung Karno mendengar desas-desus tokoh pergerakan itu ada di Jakarta.

Untungnya, Sayuti tahu di mana mencari Tan. Beberapa hari sebelumnya, Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo mempertemukannya dengan penulis buku Naar de Republiek Indonesia itu.

Pertemuan pun diatur. Soekarno meminta Soeharto, dokter pribadinya, menyediakan ruangan. Tapi ia merahasiakan siapa tamu yang akan datang. Dengan bersepeda, Sayuti menjemput Tan. Keduanya kemudian menuju rumah Soeharto—sekarang Apotek Titimurni—di Jalan Kramat Raya.

Kepada Soeharto, tokoh yang hidup 20 tahun dalam pelarian itu mengaku bernama Abdulradjak. Soeharto lalu membawa ”Abdulradjak” ke kamar belakang. Di sana Soekarno sudah menunggu. Sayuti ikut masuk, Soeharto menunggu di luar. Semua lampu di rumah itu dimatikan. Pertemuan dua tokoh dalam gelap itu terjadi pada malam Lebaran, 9 September 1945.

Soekarno membuka pembicaraan. Ia bertanya tentang Massa Actie—buku yang ditulis Tan pada 1926. Kemudian keduanya bicara tentang nasib revolusi Indonesia. Dalam pertemuan dua jam itu, Tan mendominasi pembicaraan, sementara Soekarno lebih banyak diam. ”Tan lebih berpengalaman dalam perjuangan,” kata Sayuti Melik. Kata-kata Tan tentang revolusi, kata Sayuti, belakangan hari sering dikutip Soekarno.

Ada pernyataan Tan yang sangat mengusik perhatian Bung Karno. Tan mengatakan, Belanda, dengan menumpang Sekutu, tidak lama lagi akan datang. Tan yakin, Jakarta akan jadi medan pertempuran. Itu sebabnya ia mengusulkan pemerintahan harus dipindahkan ke pedalaman.

Khawatir akan kemungkinan itu, Soekarno pun berkata, ”Jika nanti terjadi sesuatu pada diri kami sehingga tidak dapat memimpin revolusi, saya harap Saudara yang melanjutkan.” Sebelum menutup pertemuan, ia memberi Tan sejumlah uang. Kesaksian Sayuti itu ditulis dalam kolom Sekitar Testamen untuk Tan Malaka, dimuat di harian Sinar Harapan, September 1979.

Beberapa hari kemudian, Tan dan Soekarno bertemu lagi. Kali ini di rumah dokter Mawardi di Jalan Mampang. Mawardi adalah pemimpin Barisan Pelopor di masa pendudukan Jepang.

Seperti biasa, Sayuti ikut dalam pertemuan, tapi hanya boleh mendengarkan. Mereka bicara lagi tentang perjuangan kebangsaan. Di ujung percakapan, Soekarno berjanji akan menunjuk Tan sebagai penerus obor kemerdekaan.

Tan tidak bereaksi sepatah kata pun mengenai testamen itu. Dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, ia menganggap usul itu sebatas kehormatan dan tanda kepercayaan. ”Saya sudah cukup senang bertemu Presiden Republik Indonesia, republik yang sudah sekian lama saya idamkan,” katanya.

NIAT mengeluarkan testamen diucapkan Soekarno dalam rapat kabinet pada pekan ketiga September 1945. Bila Sekutu menawannya, ia akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada salah seorang yang mahir dalam perjuangan. Siapa orang itu, masih ia rahasiakan.

Ahmad Soebardjo tahu yang dimaksud Bung Karno tak lain adalah Tan Malaka. Ia tahu karena Tan pernah membicarakannya. Namun kelanjutan pembicaraan ihwal testamen baru terlaksana setelah Inggris akan mendarat. Juga ada selentingan, Sekutu akan menangkap Soekarno karena dianggap berkolaborasi dengan Jepang.

Situasi itu mendorong Soekarno bertemu dengan Tan Malaka, Iwa Koesoemasoemantri, dan Gatot Taroenamihardjo, di rumah Ahmad Soebardjo. Iwa dan Gatot saat itu Menteri Kesehatan dan Jaksa Agung. Pada 30 September, mereka sepakat menunjuk Tan sebagai ahli waris revolusi bila terjadi sesuatu pada Soekarno-Hatta.

Kemudian Soekarno pergi ke rumah Hatta. Setelah menceritakan pertemuan itu, Bung Hatta memberikan jawaban: ”Kenapa tidak bicara dulu kepada saya? Engkau mestinya kenal baik siapa itu Tan Malaka.”

Hatta menolak hasil pertemuan dan mengusulkan jalan keluar. Tongkat revolusi akan diteruskan kepada pemimpin dari empat kutub. Tan Malaka mewakili aliran paling kiri, Sutan Sjahrir dari kelompok kiri-tengah, Wongsonegoro wakil kalangan kanan dan feodal, serta Soekiman representasi kelompok Islam.

Soekarno puas dengan jalan tengah ini. Ia menelepon Soebardjo mengajak bertemu. Soebardjo, bersama Tan dan Iwa, menyambut Soekarno-Hatta besoknya. Di rumah Soebardjo, Hatta memaparkan pendapatnya.

Ia mengatakan bahwa keberadaan Tan di kalangan kiri bisa menyulut kontroversi karena Partai Komunis Indonesia tidak menyukainya. Hatta juga mengusulkan agar Tan melakukan perjalanan keliling Jawa. Selain memperkenalkan diri pada rakyat, juga untuk mengukur seberapa besar pengaruhnya. Usul Hatta disetujui.

Dalam pertemuan 1 Oktober itu, mereka juga setuju mengganti Soekiman dengan Iwa. Alasannya, Iwa sahabat Soekiman dan dekat dengan kelompok Islam. Soekarno lalu meminta Tan menyusun kata-kata testamen. Setelah semuanya setuju, naskah diketik Soebardjo dan dibuat rangkap tiga. Soekarno-Hatta lalu menandatanganinya. Soebardjo ditugasi memberikan teks itu kepada Sjahrir dan Wongsonegoro.

Belakangan terungkap, Soebardjo tidak pernah menyampaikan salinan teks itu kepada Sjahrir dan Wongsonegoro. Keduanya baru tahu setelah Hatta memberi kabar. Wakil presiden pertama itu menduga Soebardjo dan kubunya kecewa, wasiat batal diberikan kepada Tan seorang. Tapi, dalam bukunya Kesadaran Nasional, Soebardjo berdalih gonjang-ganjing revolusi menghambat penyampaian teks itu.

TAN memasukkan testamen ke tasnya. Ia lalu pergi keliling Jawa. Menurut Hadidjojo Nitimihardjo, putra Maruto Nitimihardjo—salah seorang aktivis Menteng 31, markas perjuangan pemuda setelah Proklamasi dan kini Gedung Joang 45 di kawasan Cikini, Jakarta— amplop yang dibawa Tan tak hanya berisi wasiat politik, tapi juga teks proklamasi yang diketik Sayuti Melik. Bung Karno, menurut Hadidjojo, memberinya satu paket.

Pada saat di Surabaya, Tan dikawal Laskar Minyak pimpinan Suryono. Atas usul Djohan Syahruhzah—belakangan menjadi Sekretaris Jenderal Partai Sosialis Indonesia—Tan kemudian dikawal Des Alwi selama sepekan. Des waktu itu bergabung dengan laskar Pemuda Republik Indonesia dan sedang menjalankan tugas intelijen melancarkan perang informasi terhadap Sekutu.

Mereka menginap di Gubeng pada 9 November. ”Malam itu saya sempat memijatnya,” kata Des, saat itu 18 tahun. Tan, yang mengaku bernama Hussein, lalu berkisah tentang pertempuran Shanghai, penyerangan tentara Cina terhadap Jepang pada 1932.
Pengetahuan Hussein membuat Des kagum. Anak angkat Sjahrir itu kemudian membawa Tan ke Sidoarjo. Di sana Des baru tahu, pria yang dikawalnya adalah Tan Malaka. Dari Sidoarjo, Tan berkeliling Jawa ditemani Djohan. ”Saat itu hubungan Tan dengan kubu Sjahrir belum retak,” kata Hadidjojo.

Tapi pertalian itu cuma sebentar. Belakangan hubungan kedua kubu itu rekah akibat Tan menentang politik Sjahrir. Lewat Persatuan Perjuangan—kumpulan 141 organisasi politik—Tan menentang kebijakan diplomasi yang dijalankan triumvirat Soekarno-Hatta-Sjahrir.

Keteguhan Tan yang gencar menentang perundingan berujung penjara. Ia bersama Sukarni, Chaerul Saleh, Muhammad Yamin, dan Gatot Abikusno ditangkap di Madiun pada 17 Maret 1946. Uniknya, berita pencidukan sudah menyebar di radio satu hari sebelumnya. Mereka dituduh hendak melakukan kudeta. Mereka ditahan terpisah, dipindah dari satu penjara ke penjara lain.

Namun Yamin dalam buku Sapta Darma menepis latar belakang itu. Ia mensinyalir, penahanan itu atas desakan Sekutu kepada Perdana Menteri Sjahrir agar perundingan berlangsung lancar. Mereka ”diamankan” sebelum delegasi Indonesia bertolak ke Belanda. Dugaan Yamin belakangan terbukti. Dalam persidangan Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin mengatakan Tan dan kelompoknya ditangkap karena sering melancarkan agitasi yang mengacaukan perundingan.

Sewaktu Tan di dalam sel inilah menyebar testamen politik palsu. Isinya menyatakan bahwa Soekarno-Hatta menyerahkan pimpinan revolusi kepada Tan Malaka seorang. Hatta menuding Chaerul Saleh otak dari kebohongan itu. Gara-gara itu, Hatta berniat mencabut keputusan pemberian testamen, tapi batal.

Dari penjara, Tan berhasil menyelundupkan amplop berisi testamen asli dan naskah proklamasi lewat kurir. ”Amplop itu diterima ayah saya,” kata Hadidjojo. Maruto saat itu duduk di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat di Yogyakarta.

Setelah dua tahun ia ditahan, kejaksaan baru menjatuhkan dakwaan. Tapi bukan atas tuduhan kudeta, melainkan menggerakkan barisan oposisi ilegal. Tan dan Sukarni dibebaskan pada September 1948 dari penjara Magelang, Jawa Tengah.

Setelah Tan bebas, Maruto mengembalikan testamen dan naskah proklamasi kepadanya. Ia juga mengatur pertemuan antara Tan dan Jenderal Soedirman di Yogyakarta. Kepada Pak Dirman, Tan mengatakan akan bergerilya ke Jawa Timur sekitar November 1948. Soedirman lalu memberinya surat pengantar dan satu regu pengawal.

Surat dari Soedirman itu diserahkan ke Panglima Divisi Jawa Timur Jenderal Sungkono. Oleh Sungkono, Tan dianjurkan bergerak ke Kepanjen, Malang Selatan. Tapi ia memutuskan pergi ke Kediri. Di sinilah, kata sejarawan Belanda Harry Albert Poeze, Tan dieksekusi pada 21 Februari 1949.

Sejak itu kasak-kasuk ihwal testamen meredup. Baru pada Mei 1972, polemik ahli waris revolusi mencuat di media massa. Moekhardi, mengutip buku George McTurnan Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia (1952), mengemukakan bahwa perancangan testamen itu taktik Tan Malaka merebut kekuasaan. Satu bulan kemudian, Sayuti menolak pendapat Kahin. Menurut dia, pertemuan dan pembuatan testamen atas prakarsa Soekarno.

Pekan berikutnya, giliran Soebagijo I.N.—atas hasil wawancara dengan Hatta—menulis, naskah testamen sudah diberikan Tan tapi belum ditandatangani. Soekarno akan memarafnya bila Bung Hatta setuju. Sedangkan Hatta menilai, sosok Tan di mata rakyat tidak populer. Buktinya, dalam perjalanan di Jawa, Tan beberapa kali hendak ditangkap.

Silang pendapat terus bermunculan. Perang pena di surat kabar reda setelah S.K. Trimurti—istri Sayuti—menulis surat pembaca di harian Sinar Harapan, akhir Oktober 1979. Trimurti membuka rahasia, Syamsu Harya Udaya menemuinya pada akhir 1964. Tokoh Murba, partai yang didirikan Tan, itu mengaku menyimpan testamen dan naskah Proklamasi. Syamsu memang sering menemani Tan sebelum sang tokoh tewas.

Daripada terus memercikkan perselisihan dan jadi rebutan, Trimurti menganjurkan testamen dihancurkan. Keduanya lalu menemui Aidit, yang dikenal dekat dengan Soekarno. Ketua Partai Komunis Indonesia itu mengatur pertemuan.

Soekarno kemudian mengundang ketiganya. Di Istana Negara, Trimurti menyerahkan seluruh naskah. Sementara teks proklamasi disimpannya, Bung Karno merobek-robek testamen dan membakarnya. ”Setelah itu kami pulang dengan perasaan lega,” kata Trimurti. Kisruh surat wasiat padam di tengah bara api.

TEMPO, 25/XXXVII 11 Agustus 2008


Selengkapnya...

Bapak Republik yang Dilupakan 3



Jalan Sunyi Tamu dari Bayah

Menggagas konsep republik sejak 1925, Tan Malaka justru terlambat mengetahui proklamasi. Semboyannya membakar semangat dan mengilhami rapat akbar di Lapangan Ikada.

IA memperkenalkan dirinya sebagai Ilyas Hussein. Datang dari Bayah, Banten Selatan, pria paruh baya itu bertamu ke rumah Sukarni di Jalan Minangkabau, Jakarta, awal Juni 1945. Di sana sudah ada Chaerul Saleh, B.M. Diah, Anwar, dan Harsono Tjokroaminoto. Tamu jauh itu hendak menghadiri kongres pemuda di Jakarta.

Memakai baju kaus, celana pendek hitam, dan topi perkebunan ditenteng di tangan, tamu itu disambut tuan rumah. Setelah sedikit basa-basi, Hussein menyampaikan analisisnya tentang kemerdekaan dan politik saat itu. Situasi memang lagi genting. Penjajah Jepang sudah di tubir jurang.

Ulasan Hussein tentang proklamasi membuat Sukarni terpukau. Pikiran Hussein sama persis dengan tulisan-tulisan Tan Malaka yang selama ini dipelajari Sukarni. Setelah mendengar analisis Hussein, Sukarni makin mantap: proklamasi harus segera diumumkan.

Sejarah mencatat, Hussein adalah Ibrahim Sutan Datuk Tan Malaka yang tengah menyamar. Sejak awal Sukarni curiga, tamunya tak mungkin hanya orang biasa—meski ia tak berani bertanya. ”Ia heran, bagaimana mungkin orang sekaliber Hussein hidup di wilayah terpencil,” kata sejarawan Belanda Harry A. Poeze.

Karni malah waswas. ”Ia takut kalau Hussein mata-mata Jepang,” kata Anwar Bey, bekas wartawan Antara dan koresponden Buletin Murba. Kekhawatiran yang campur aduk memaksa Sukarni memindahkan rapat ke rumah Maruto Nitimihardjo di Jalan Bogor Lama—sekarang Jalan Saharjo, Jakarta Selatan. Sebelum pergi, Sukarni meminta tamunya menginap satu malam. Hussein tidur di kamar belakang.

Pada saat rapat, analisis Hussein mempengaruhi pikiran Sukarni. Ide-ide Hussein dilontarkannya dalam rapat. ”Sukarni mendesak proklamasi jangan ditunda,” kata Adam Malik. Para pemuda setuju.

Sepulang rapat, Sukarni masih penasaran pada Hussein. Tapi lagi-lagi ia ragu bertanya. Sukarni baru bertemu besok paginya ketika tamunya mau pulang. ”Ia berpesan agar Hussein mempersiapkan pemuda Banten menyongsong proklamasi,” kata Anwar Bey, kini 79 tahun.
Kesaksian itu terungkap pada saat Sukarni memberikan sambutan dalam acara Sewindu Hilangnya Tan Malaka di Restoran Naga Mas, Bandung, Februari 1957. Anwar Bey malam itu hadir di sana.

Dari pertemuan itu, Tan sendiri menafsirkan, Chaerul dan Sukarni mengenal ide-ide politiknya. Tapi ia belum berani membuka jati diri. ”Saya masih menunggu kesempatan yang lebih tepat,” katanya dalam memoar Dari Penjara ke Penjara.

Ia lalu pulang ke Bayah, kembali bekerja sebagai juru ketik. Nama Hussein tetap digunakan. Saat itu usianya 48 tahun.

HUSSEIN kembali muncul di Jakarta pada 6 Agustus 1945. Ia membawa tas. Isinya celana pendek selutut, kemeja, dan kaus lengan panjang kumal. Kali ini yang dituju rumah B.M. Diah, Ketua Angkatan Baru, yang juga redaktur koran Asia Raya, satu-satunya koran yang terbit di Jakarta.

Utusan Bayah itu menanyakan kabar mutakhir situasi perang. Setelah satu jam Diah memberikan informasi, Hussein menyatakan pendapatnya. ”Pimpinan revolusi kemerdekaan harus di tangan pemuda,” katanya.

Tapi hubungan Hussein dengan Diah berlangsung singkat. Besoknya Diah ditangkap Jepang gara-gara menuntut kemerdekaan dan menentang sikap lunak Soekarno-Hatta. Tahu Diah ditangkap, Hussein pulang ke Bayah.

Di sana ia terus bergerak. Tiga hari kemudian dia terlibat rapat rahasia dengan para pemuda Banten di Rangkasbitung. Pertemuan satu setengah jam itu digelar di rumah M. Tachril, pegawai Gemeenschappelijk Electriciteitsbedrijf Bandoeng en Omstreken—Gabungan Perusahaan Listrik Bandung dan Sekitarnya.

Di sini Hussein mengobarkan pidato yang menggelora. ”Kita bukan kolaborator!” katanya. ”Kemerdekaan harus direbut kaum pemuda, jangan sebagai hadiah.” Kekalahan Jepang, menurut dia, tinggal menunggu waktu.

Pidato itu dilukiskan Poeze dalam buku terbarunya Verguisd en Vergeten Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949. ”Sebagai rakyat Banten dan pemuda yang telah siap merdeka, kami bersumpah mewujudkan proklamasi itu,” kata Hussein di ujung pidatonya.

Bila Soekarno-Hatta tidak mau menandatangani, Hussein memberikan jawaban tegas: ”Saya sanggup menandatanganinya, asal seluruh rakyat dan bangsa Indonesia menyetujui dan mendukung saya.”

Hussein diutus kembali ke Jakarta. Ia diminta menjalin kontak dengan Sukarni dan Chaerul Saleh. Peserta rapat mengantarnya ke stasiun Saketi, Pandeglang. Hussein naik kereta ke Jakarta.

SITUASI Jakarta tidak menentu. Kebenaran dan desas-desus berkelindan satu sama lain. Kempetai, polisi militer Jepang, mengintai di mana-mana. Para pemuda bergerak di bawah tanah, bersembunyi dari satu rumah ke rumah lain. Usaha Tan Malaka menjalin kontak dengan pemuda tak kesampaian.

Kesulitan Tan bertambah karena kehadirannya tempo hari di rumah Sukarni menyebar dan menjadi pergunjingan. Para pemuda bingung siapa sebenarnya Ilyas Hussein. Karena itu para pemuda jaga jarak bila Hussein muncul.

Peluang Tan menjalin kontak kian teruk karena sikap hati-hatinya yang berlebihan. Sebagai bekas orang buangan dan lama hidup dalam pelarian, Hussein merasa di bawah bayang-bayang penangkapan.

Tan akhirnya berhasil menemui Sukarni di rumahnya pada 14 Agustus sore. Ia mengusulkan agar massa pemuda dikerahkan. Tapi Sukarni sibuk. Di rumah itu banyak orang keluar-masuk. Banyak pula hal yang disembunyikannya, termasuk berita takluknya Jepang.

Ia juga khawatir rumahnya digerebek Kempetai. Itu sebabnya, Sukarni pergi meninggalkan Hussein. Seperti sebelumnya, ia diminta menunggu di kamar belakang. Kali ini bersama dua orang yang tak dikenal.

Salah satunya Khalid Rasyidi, aktivis pemuda Menteng 31. Menurut Khalid, Hussein sempat bertanya di mana tempat penyimpanan senjata Jepang. ”Ia menganjurkan perampasan senjata dalam rangka perjuangan kemerdekaan,” kata Khalid dalam ceramah di Gedung Kebangkitan Nasional, Agustus 1978.

Khalid juga yakin, Sukarni sudah tahu bahwa Hussein tak lain Tan Malaka. Soalnya, sebelum Khalid diminta menemui utusan Banten itu, Sukarni agak lama menunjukkan foto lama orang-orang pergerakan. ”Di antaranya foto Tan Malaka waktu masih muda,” kata Khalid. Poeze menyangsikan hal itu. Menurut dia, Sukarni hanya menduga-duga.

Malam itu Sukarni sempat pulang. Tapi setelah itu menghilang. Hussein besoknya berusaha menemui Chaerul Saleh di Jalan Pegangsaan Barat 30, tapi Chaerul tidak ada di rumah. Karena di sepanjang jalan santer terdengar kabar Jepang menyerah perang, Hussein kembali ke rumah Sukarni. Tapi usahanya sia-sia.

Hussein tidak tahu, Sukarni dan Chaerul akan menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Aksi itu dilakukan karena Soekarno-Hatta ngotot proklamasi dilakukan melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Sedangkan pemuda ingin merdeka tanpa campur tangan Jepang. Setelah berdebat di Rengasdengklok, Soekarno-Hatta bersedia meneken proklamasi. Teks proklamasi disiapkan di rumah Laksamana Maeda.

Naskah itu besoknya dibacakan di pekarangan rumah Soekarno, di Pegangsaan Timur 56. Upacara berlangsung singkat. Penguasa militer Jepang melarang berita proklamasi meluas di radio dan surat kabar. Itu sebabnya, Tan tidak tahu ada proklamasi. Ia tahu setelah orang ramai membicarakannya di jalan-jalan.

Terbatasnya peran Tan itu, kata Poeze, sungguh ironis. Padahal Tan orang Indonesia pertama yang menggagas konsep republik dalam buku Naar de Republiek Indonesia, yang ditulis pada 1925. Buku kecil ini kemudian menjadi pegangan politik tokoh pergerakan, termasuk Soekarno.

Dalam buku Riwayat Proklamasi Agustus 1945, Adam Malik melukiskan peristiwa itu sebagai ”kepedihan riwayat”. Sukarni bertahun-tahun membaca buku politik Tan. Tapi pada saat ia membutuhkan pikiran dari orang sekaliber Tan, Sukarni sungkan bertanya siapa Hussein sesungguhnya. ”Ia malah membiarkannya pergi jalan kaki, lepas dari pandangan mata,” kata Adam Malik.

Tan juga tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. ”Rupanya sejarah proklamasi 17 Agustus tidak mengizinkan saya campur tangan, hanya mengizinkan campur jiwa saja. Ini sangat saya sesalkan! Tetapi sejarah tidak mempedulikan penjelasan seorang manusia atau segolongan manusia.”

Setelah proklamasi, Tan berusaha menemui pemuda. Tapi mereka terus bergerak di bawah tanah. Pada 25 Agustus Tan akhirnya datang ke rumah Ahmad Soebardjo di Jalan Cikini Raya 82. Keduanya pernah bertemu di Belanda pada 1919. ”Pembantu kami mengatakan ada tamu ingin berjumpa,” kata Soebardjo. Tamu itu duduk di pojok ruangan.

Soebardjo kaget. ”Wah, kau Tan Malaka,” katanya. ”Saya kira sudah mati.” Tan menjawab sambil tertawa. ”Alang-alang tak akan musnah kalau tidak dicabut dengan akar-akarnya.” Setelah sempat bersenda-gurau, Soebardjo menawari Tan tinggal di paviliun rumahnya.

Sejak itu Tan diperkenalkan kepada beberapa tokoh seperti Iwa Koesoema Soemantri, Gatot Taroenamihardjo, Boentaran Martoatmojo. Ia juga dipertemukan dengan Nishijima Shigetada, Asisten Laksamana Maeda. Di depan Nishijima, ia bicara tentang revolusi, struktur politik, gerakan massa, hingga propaganda.

Nishijima terheran-heran. ”Bagaimana mungkin orang yang tampak seperti petani ini bisa menganalisis segala-galanya dengan begitu tajam,” katanya. Setelah lebih dari dua jam berbincang, Soebardjo menjelaskan bahwa kawannya ini tak lain Tan Malaka. Nishijima terkejut. Ia bangkit lalu menjabat tangan Tan lebih erat.

Kepada tamunya, Soebardjo meminta keberadaan Tan dirahasiakan. Sepekan menetap di rumah Soebardjo, lewat perantara Nishijima, Tan pindah ke rumah pegawai angkatan laut Jepang di Jalan Theresia. Ia sempat ke Banten membangun jaringan gerilya, lalu balik ke Jakarta. Pada pekan kedua September, ia pindah ke Kampung Cikampak, 18 kilometer sebelah barat Bogor. Sejak itu ia bolak-balik ke Jakarta.

Di Jakarta, kaum pemuda terus bergerak. Mereka melihat pemerintah tidak bekerja mengisi kemerdekaan meski kabinet telah dibentuk. ”Mereka cuma kumpul-kumpul di gedung Pegangsaan,” kata Adam Malik. ”Seperti tidak ada rencana.”

Itu sebabnya, sebagian pemuda mengusulkan demonstrasi. Tapi sebagian lain ingin membentuk Palang Merah dan mengurus tawanan perang. Pemuda yang berkumpul di Jalan Prapatan 10, sekarang Jalan Kwitang, terbelah.

Pemuda prodemonstrasi meninggalkan Jalan Prapatan menuju Menteng 31. ”Ini kesempatan kita mempraktekkan Massa Actie,” kata Sukarni mengutip buku Tan yang menjadi pegangan pemuda. Setelah itu mereka membentuk Komite van Actie. Komite ini mengambil alih sarana transportasi dan mengibarkan bendera Merah-Putih di mana-mana.

Karena kabinet belum ada kegiatan, Soebardjo—saat itu sudah Menteri Luar Negeri—meminta nasihat Tan yang lalu mengusulkan agar propaganda dilakukan lewat semboyan-semboyan. ”Tan ikut mengusulkan kata-katanya,” kata Hadidjojo Nitimihardjo, putra Maruto. Semboyan itu ditulis pemuda di tembok-tembok, mobil, dan kereta api hingga tersebar ke luar Jakarta, dibuat dalam bahasa Indonesia dan Inggris agar menarik perhatian dunia.

Sejak itu Soekarno mendengar kemunculan Tan. Ia meminta Sayuti Melik mencarinya. Dua tokoh itu akhirnya diam-diam bertemu dua kali pada awal September 1945. Pertemuan itu menjadi rahim lahirnya testamen politik. Isinya: ”Bila Soekarno-Hatta tidak berdaya lagi, pimpinan perjuangan akan diteruskan oleh Tan, Iwa Koesoema, Sjahrir, dan Wongsonegoro.”

Kasak-kusuk kehadiran Tan makin santer. Para pemuda membicarakannya di Menteng 31. Tan saat itu tinggal di rumah Pak Karim, tukang jahit di Bogor. Sukarni dan Adam Malik mencarinya ke sana. Mereka berhasil bertemu, tapi ragu identitas Tan. ”Apalagi saat itu banyak muncul Tan Malaka palsu,” kata Hadidjojo.

Untuk memastikan, para pemuda membawa Soediro—kenalan Tan di Semarang pada 1922—beberapa hari kemudian. Sesudah itu mereka membawa guru Halim, teman sekolah Tan di Bukittinggi. Tan juga dicecar soal Massa Actie karena banyak Tan Malaka palsu tidak bisa menjelaskan isi buku tersebut.

Maruto bahkan menyarankan agar pemuda tidak begitu saja mempercayai Tan. Ia rupanya mendengar Tan sudah bertemu Soekarno. Tapi setelah mendengar kata-kata Tan, kaum pemuda yakin tokoh legendaris itu anti-fasis.

Tan juga sepakat dengan aksi pemuda Menteng 31. ”Ia mengusulkan demonstrasi yang lebih besar,” kata Hadidjojo. Demonstrasi digelar untuk mengukur seberapa kuat rakyat mendukung proklamasi. Ide ini melecut pemuda menggelar rapat akbar di Lapangan Ikada. ”Tan berada di balik layar,” kata Poeze.

Pemuda mendapat kuliah dari Tan tentang perjuangan revolusioner. Persinggungan pemuda dengan Tan berlangsung antara 8 dan 15 September 1945. Sekelompok pemuda, antara lain Abidin Effendi, Hamzah Tuppu, Pandu Kartawiguna, dan Syamsu Harya Udaya, diperkenalkan kepada Tan. Sukarni lalu mengirim Hamzah, Syamsu, dan Abidin ke Surabaya untuk mengorganisasi para pelaut.

Di Jakarta, kelompok pemuda menggelar rapat. Mereka menyiapkan demonstrasi pada 17 September—tepat sebulan setelah proklamasi. Tapi unjuk rasa diundur dua hari. Ada anekdot, tanggal itu dipilih karena para pemuda jengkel dimaki-maki Bung Karno bulan sebelumnya. ”Bung Karno marah karena pemuda menggelar pawai di taman Matraman pakai obor dua hari setelah proklamasi,” kata Hadidjojo mengutip Maruto, ayahnya.

Pamflet aksi disebar dan ditempel di mana-mana. Sukarni keluar-masuk kampung, menemui kepala desa, tokoh masyarakat, pemuda, hingga kiai, agar datang ke Lapangan Ikada. Mahasiswa meminta Soekarno hadir juga. Tapi presiden pertama itu menolak.

Pada hari yang ditentukan, massa berbondong-bondong datang. Senapan mesin Jepang dibidikkan ke arah kerumunan. Tapi gelombang massa terus berdatangan. Jumlahnya diperkiran 200 ribu. Di bawah terik, mereka menunggu berjam-jam. Salah satu yang hadir almarhum Pramoedya Ananta Toer. ”Itulah pertama kali saya saksikan orang Indonesia tidak takut lagi pada Dai Nippon,” kata Pram, saat itu berusia 20.

Sementara sidang kabinet pagi itu terbelah. Sebagian menteri setuju hadir di Ikada. Sedangkan yang menolak takut ada pertumpahan darah. Rapat berjalan alot. Pukul empat sore, Soekarno memutuskan datang menenteramkan rakyat yang sudah menunggu berjam-jam. ”Saya tidak akan memaksa. Menteri yang mau tinggal di rumah silakan,” katanya.

Rombongan Soekarno-Hatta pergi menuju Ikada. Poeze menduga, Tan Malaka ikut dalam rombongan. ”Ia satu-satunya yang memakai topi, jalan berdampingan dengan Soekarno menuju podium,” kata Poeze.

Di mimbar Soekarno berpidato lima menit. Suaranya lunak. Ia meminta rakyat tetap tenang dan percaya pada pemerintah, yang akan mempertahankan proklamasi. Massa diminta pulang. Setelah itu, barisan bubar meninggalkan lapangan.

Hasil demonstrasi itu menyesakkan Tan. Pidato itu, katanya, tidak menggemborkan semangat berjuang. ”Tidak mencerminkan massa aksi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.”

TEMPO, 25/XXXVII 11 Agustus 2008



Selengkapnya...

Pengikut